Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Jumat, 23 Januari 2015

MENEMUKAN KISAH PANJANG DI GANG BUNTU






Matanya tampak redup meski senyum ramahnya mengembang menyambut saya kala berpapasan pagi itu.  Sosok Kakek yang bersahabat pada pengunjung seperti saya.

Setelah beberapa saat berbasa basi, saya lalu mengenalnya. Ta Lin Jo – begitu ia menyampaikan nama. Lahir dan besar di gang sempit  yang kini makin terhimpit di tengah hiruk pikuk perkotaan.

“dulu tempat ini luas, sebelum di sekat  dan terjadi perombakan pada gedung gedung bagian depan jalan utama di tahun 70 an.” Ujar pak Ta Lin Jo memulai kisahnya.

Pak Ta Lin Jo di depan rumah bedengannya.

gang sempit dari depan kantor Telkom Bambu Kuning menuju bagian dalam

kondisi 6 rumah bedeng di dalam gang Buntu


Pak Ta Lin Jo yang merupakan peranakan tionghua itu berkisah bahwa dahulu tempat yang ia huni adalah sebuah pusat keramaian di Bandar Lampung. Bagaimana tidak, beberapa bekas gedung kokoh di sekitar rumah yang kini ia tempati itu dulunya adalah hotel hotel yang ramai di kunjungi banyak orang. Bahkan hotel hotel itu konon telah ada sejak jaman belanda. 

“ketika saya kecil, orang tua saya sering cerita betapa ramainya kawasan ini.” Ucap pak tua mengurai kembali kisahnya.


kondisi aktivitas warga penghuni Gang Buntu

Bangunan Kayu yang dahulu Hotel dari bagian dalam gang ke arah Luar.


Gang sempit yang terletak persis di depan kantor Telkom dekat gang masuk  pasar Bambu Kuning itu seolah menjadi saksi bisu kejayaan tempo dulu. Tumpukan seng dan bangunan lapuk memang nampak dari luar gang. Sekilas tak ada yang istimewa.  Di bagian dalam dari jalan utama hanya ada 6 rumah kecil berbentuk bedengan. Masa kejayaan lampau itu terlihat jelas dari beberapa bangunan yang berada di sebelahnya. Pada bagian depan rumah pak Ta Lin Jo misalnya, masih berdiri kokoh bangunan yang berupa kayu kayu tersusun rapih meski terlihat rapuh yang dulunya adalah hotel bernama Hotel Dibinhin, lalu pada bagian depan yang kini jadi toko toko pakaian dan kelontongan dulu adalah penginapan penginapan yang banyak di datangi pengunjung terlebih pada bagian sisi timur rumah pak Ta Lin Jo adalah sekat belakang gedung Lampung Plaza yang terkenal di jamannya.


Melihat bangunan bangunan tua di sekitar rumah pak Ta Lin Jo yang juga tua itu saya membayangkan betapa meriahnya suasana kala itu. Bagaimana tidak di tahun 60 dan 70 an bangunan bangunan itu telah kokoh berdiri dengan aktivitas perkembangan zaman masa itu. 

“bangunan di sekitar rumah ini sudah ada dan berdiri jauh sebelum saya lahir, mas …” sambung pak Ta Lin Jo yang kini berusia 84 tahun itu.
“dulu ada bangunan SR  (Sekolah Rakyat) di depan jalan itu”. Ucapnya menunjuk kearah jalan masuk ke bagian  depan pasar Bambu Kuning.
“dulu juga ada banyak kantor kantor belanda. Sekarang jadi pertokoan di pasar tengah.” Ucapnya sesekali menengadahkan kepala seolah mengingat-ingat hal hal yang ia alami kala itu.


bangunan tinggi beratap kayu yang dulunya Hotel Megah

masih kokoh meski nampak rapuh


Berbincang dengan pak Ta Lin Jo seolah mendengar penuturan langsung dari pelaku masa kehidupan tempo dulu. Bagai mendengar rangkain dongeng tetapi nyata terjadi. Selama berbincang, mata saya tak pernah luput dari  kekaguman akan bangunan menjulang yang menghimpit rumah dengan  kisah kisah perjuangan kehidupan sejak dulu hingga kini yang pak Ta Lin Jo lakoni bersama istrinya. Ketiga anak beliau  kini telah merantau bekerja di luar kota. Mereka tinggal bersama 5 keluarga lainnya di rumah yang bersebelahan. Beberapa kepala keluarga di sekitar rumah pak Ta Lin Jo berdagang di areal pasar tengah dan toko toko kelontongan di Bambu Kuning.  Saya juga melihat aktvitas  ibu menjemur pakaian dan beberapa wanita paruh baya berjemur di tengah panasnya matahari pagi kala itu. Menurut pak Ta Lin Jo, semua yang tinggal di bedengan bersebelahan dengannya itu telah menetap sejak tahun 70an, ketika sekitaran Bambu Kuning dan Simpur berbenah dengan pembangunan gedung gedung megah.  “dulu Plaza Lampung itu adalah Gedung tertinggi di sini.” Kenangnya sembari menunjukkan punggung gedung yang tak jauh dari rumah yang membuat jalan gang rumah bedengan itu di sebut gang buntu.

Sentuhan sejarah di pagi jumat yang justru saya peroleh dari perbincangan singkat dengan sosok tua yang tinggal di gang buntu yang terhimpit keramaian perkotaan. Saya pribadi nyaris tak tahu jika di dalam gang sempit itu hidup sosok sosok lawas pelaku kehidupan tempo dulu. Saya pun tak tahu ada banyak bangunan tua menarik di sekitar  bahkan di dalam gang buntu jika saja Mas Puji – seorang rekan menyampaikan pada saya beberapa hari sebelumnya. 
Bagi saya, menjalin perbincangan dengan mereka yang mengalami langsung kehidupan tempo dulu bagai mengurai sejarah sebuah kawasan. Tak sia sia rasanya saya berjalan pagi itu di pasar tengah menyusur jalan setapak dan gang gang sempit guna melihat langsung bagian dalam dari rapatnya gedung gedung tinggi pertokoan yang ternyata menyimpan banyak hunian warga dengan kisah kejayaan di zamannya.

0 comments :

Posting Komentar

Scroll To Top