Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Kamis, 27 Oktober 2016

MELIHAT TIYUH TOHO, BUDAYA MENGGALA DAN BANGUNAN TAK TERPELIHARA KALA BERTANDANG KE TULANG BAWANG.




... "main ke Tulang Bawang dong!.  Ke Kabupaten lain bisa, masak mampir ke tanah leluhur Orang tua mu belum!”  ucap Paman pada acara kumpul keluarga. “jika punya waktu, sempatkan ke Tulang Bawang” timpal Bik Cik (adik bungsu Mama).
“Ia, InsyaAllah dalam waktu dekat main ke Tulang Bawang” sahut saya meredam rentetan pertanyaan Paman dan Bik Cik. 
Ternyata Paman dan Bik Cik menyimak hobi perjalanan dalam blog saya, hehehe.
Dan mencari waktu yang tepat untuk mengunjungi sebuah kawasan, bagi saya bukan pekara mudah. Harus dapat celah diantara jam kantor pada hari kerja dan pekerjaan panggung di akhir pekan. Belum lagi acara keluarga yang sering datang tanpa kompromi.  yaah.., semoga saja dalam waktu dekat bisa ke Tulang Bawang” bisik saya pada diri sendiri yang kemudian terhimpun dalam do’a sebelum tidur.
 
kondisi jalanan menuju Tulang Bawang yang bagus dan mulus




Tuhan pun mengabulkan permintaan saya.  Hari Rabu mendapat perkenan libur dari kantor. Setelah melakukan sedikit persiapan digenapi dengan restu istri, jadilah tekat bulat untuk mengunjungi Tulang Bawang terwujud.
Lepas Subuh di Rabu pagi saya menyemangati diri menuju Tulang Bawang. Hanya sendiri. Karena anak istri tak bisa di ajak serta, termasuk  menghubungi beberapa rekan yang biasanya saya ajak dalam perjalanan ternyata sedang tak berkenan. Tak apalah. Nyetir ke Jakarta dan Bandung sendirian saja saya berani, masak ke Tulang Bawang yang jaraknya cuma 3 jam tak berani. Hehehehe. #belajarTegar!!




 
suasana pagi di pasar lama Menggala
 
Keuntungan melakukan perjalanan di pagi buta adalah lalu lintas yang masih lengang.  Tak ada kemacetan apapun meski di kawasan yang kerap terjadi macet sekalipun. Jarak 120 kilometer dari Bandar Lampung ke Tulang Bawang pun terasa lega.  Dengan kecepatan berkendara standard, pukul 5 pagi dari Bandar Lampung,  07.30 WIB telah tiba di Menggala – pusat kota dari kabupaten Tulang Bawang dengan selamat. Kondisi jalanan yang mulus menuju Tulang Bawang sangat memudahkan perjalanan saya. Suasana pagi ketika memasuki kawasan Menggala saya sempatkan mampir ke beberapa spot menarik untuk mengabadikan bangunan bangunan khas daerah.  Itulah enaknya trip sendiri, bisa berhenti di beberapa tempat menarik sesukahati,hehehe. 


bentangan sungai dan rawa rawa di Menggala

Rencananya, ketika tiba di Menggala, saya akan mengunjungi rumah Bik Cik – adik bungsu mendiang Mama yang telah lama menetap di Menggala. Tapi melihat suasana pagi di Menggala yang lengang, saya langsung mengalihkan kemudi menuju pasar  Menggala. Seperti biasa, mengunjungi pasar tradisional adalah salah satu kegemaran saya kala bertandang sebuah kawasan. Benar saja, kala tiba di pasar Menggala saya langsung terpukau dengan jajaran rumah panggung yang berada di kiri kanan jalan utama pada bagian depan pasar. Pola rancang bangun yang masih terjaga lengkap dengan teralis besi bergaya tahun 70an.    Beberapa rumah panggung menjadikan bagian bawah bagunan sebagai kios berjualan. Pagi itu belum nampak ada kegiatan jual beli. Bahkan beberapa kios dan amben pasar yang sempat saya tengok pun tampak lengang. Saya kemudian duduk di balkon sebuah rumah panggung setelah meminta izin pada pemiliknya yang sedang bersiap membuka kios dagangan. Dari teras rumah panggung itulah  saya menikmati suasana pagi yang lengang di pasar Menggala yang masih asri.  Budaya kehidupan bermasyarakat yang rukun berdampingan nampak jelas dalam pandangan mata saya.  Suku Lampung asli yang mendiami kawasan pasar Menggala, berdampingan dengan suku Bugis yang huniannya bersebelahan dengan kawasan pasar.  Ada banyak suku suku pendatang yang kemudian beranak-pinak di Tulang Bawang, mulai dari suku Minangkabau, Banten, Bali hingga etnis Tionghua.


pagi di pasar lama menggala yang lengang



Cukup puas menikmati suasana pasar Menggala, saya pun menuju rumah Bik Cik yang letaknya tak jauh dari komplek pemda kabupaten Tulang Bawang.
Ketika berbincang soal Pasar Menggala, Bik Cik pun menjelaskan bahwa pasar yang saya datangi sebelumnya itu, disebut Pasar Lama karena aktivitas jual beli yang tidak berlangsung ramai seperti dulu. “sekarang ada Pasar Baru yang lebih dekat, di pinggir jalan besar” ujar Bik Cik menjelaskan. Karena Bik Cik tahu saya menyukai pasar tradisional, ia pun mengajak saya mengunjungi pasar baru Menggala yang ia maksudkan, sembari menemaninya berbelanja keperluan rumah tangga.  Benar saja, pasar baru Menggala yang Bik Cik kisahkan tersebut begitu ramai. Mulai dari penjaja kebutuhan dapur hingga jual beli baju dan perabot rumah tangga. Pasarnya pun lebih luas daripada pasar lama yang saya datangi beberapa jam sebelumnya itu.  Meski secara artistik dan kedaerahan saya menyukai suasana yang ada di pasar lama, pasarnya lebih photogenic dan instagramable, hehehe.

suasana ramai di pasar baru


Usai kunjungan ke pasar tradisonal, Bik Cik  sempat menunjukkan beberapa hal yang mengandung sejarah di Menggala dalam perjalanan menuju kerumah. Mulai dari  Dermaga lama, Kampung Bugis, Tangga Rajo hingga sebutan Tiuh Toho Menggalo yang melegenda tersebut.  Tak hanya Bik Cik, ketika tiba di rumah, Oom Rochman pun berkisah banyak seputar Tulang Bawang. Sebagai putera daerah yang lahir dan besar di Pagar Dewa, Oom Rochman yang masih kerabat Papa saya itu menuturkan beragam hal seputar Tulang Bawang disela menunggu hidangan makan pagi persembahan Bik Cik.  Meski saya adalah keponakan dari Bik Cik, soal kedatangan tamu, budaya menghidang makanan istimewa telah menjadi tradisi  dalam adat istiadat masyarakat Lampung. “yok, makan dulu, nanti siang, abis jalan jalan kita makan lagi.” ucap Bik Cik  mempersilakan saya menyantap apa yang ia sebut sarapan pagi – yang menurut saya serupa dengan sajian makan siang!!. 

tiuh toho - pagar dewa - kampung kelahiran Papa saya.

bahagianya saya menyusuri sungai pagar dewa


Penjelasan Bik Cik semakin lengkap ketika Oom Rochman – salah satu kerabat dari Papa yang menemui saya dan berkenan meluangkan waktu  menjadi pemandu saya sepanjang hari  eksplorasi  Tulang Bawang.

Dalam kisah hidup saya, Menggala bukanlah sesuatu yang asing. Sejak kanak-kanak saya kerap berkunjung ke kawasan yang dulunya masuk dalam teritori kabupaten Lampung Utara ini   sebelum akhirnya berdiri sendiri sebagai kabupaten Tulang Bawang pada tahun 1997.  Papa saya lahir dan besar di Tiyuh (desa) Pagar Dewa – salah satu desa tertua (tiuh toho) di Tulang Bawang yang kini masuk dalam kawasan Tulang Bawang Barat.
… Saya akan kisahkan keagungan Tiyuh Pagar Dewa yang menjadi separuh darah daging saya tersebut pada tajuk hikayat tersendiri.


 
kawasan Sesat Agung dan Rumah (Nuwo) Adat yang Lengang


BANGUNAN GAGAH TAK TERPELIHARA.

Oom Rochman pun memahami minat saya. Ia mengarahkan saya pada banyak tempat tempat menarik yang memang telah saya buat daftar kunjungan jauh sebelum saya tiba di Menggala. Kunjungan ke kawasan Cakat menjadi warna tersendiri bagi perjalanan saya siang itu, termasuk pengalaman melihat pembuatan ikan kering dan terasi /delan Menggala.  Selain  itu kunjungan ke tempat tempat yang masih tradisional dan mengandung sejarah adalah kegemaran saya selanjutnya.  Sungguh kesenangan tersendiri ketika Oom Rochman mengajak saya naik perahu kayu di tanah kelahiran Papa saya – Pagar Dewa plus kesempatan bincang singkat dengan tetua adat  lengkap dengan  ziarah ke makam pejuang dan pendiri Pagar Dewa.   
Senengnya pake Banged!!!.

bangunan Museum Tulang Bawang tampak depan.

tampak bagian dalam Museum lengkap dengan lantai keramik tak terawat
 
Meski  bahagia karena dapat melihat dari dekat kehidupan masyarakat Menggala lengkap dengan keluhuran budaya Lampung nan agung,  saya sempat terhenyak  ketika melihat langsung kondisi Museum yang isinya hanya lemari lemari kosong berantakan, termasuk kondisi  bangunan dan ubin yang  tak terawat. Beberapa bagian nampak lusuh tak tersentuh perkembangan zaman. Museum bak  rumah hantu. Mencekam. Tak ketinggalan juga rumah adat yang lengang. Hanya beberapa pekerja bangunan  yang sedang merenovasi sebagian gedung. Bisa jadi kawasan ini ramai ketika ada acara. Kala ceremonial tak berlangsung, semua kembali kesedia-kala. Lengang. Mencekam. Lebih mencekam ketika melihat gedung gedung yang dulu berdiri megah kini telah usang. Penuh rerumputan. Tak ada sentuhan perawatan.  Bagai gedung tua yang ditinggal penghuninya. Begitu pula dengan gedung kesenian yang senyap tanpa ada aktivitas berkesenian, meski konon Tim Kesenian Tulang Bawang senantiasa juara pertama bahkan juara umum lomba tari daerah tingkat provinsi Lampung hingga nasional. Mungkin kunjungan saya kala itu hari Rabu, jadi tak ada kehidupan berkesenian di gedung kesenian. Mungkin. 

salah satu bangunan dari beberapa bangunan di akwasan wisata Cakat yang tak terpelihara - sayang biaya pembangunannya.


pelataran depan kampus yang banyak rumput


Kunjungan mencekam lainnya adalah ketika mendatangi kawasan Universitas MegowPak. Kampus perkuliahan yang dirintis pada masa Bupati Abdurachman Sarbini tersebut tersohor karena rancang bangunannya sangat modern.  Saya pun kagum melihat bangunan kaca bak hotel di ibukota Jakarta tersebut. Meski kehidupan perkuliahan saat ini tidaklah berlangsung maksimal. Rerumputan liar menjadi penghias kampus sejak bagian depan hingga gedung belakang. Areal taman hingga mushalla yang ada di bagian belakang kampus tampak tak berwujud karena timbunan rumput liar. Ragam bentuk ruangan dalam bangunan megah metropolitan itu tampak lengang.  Ketika malam datang, tentu ada hantu. Sungguh sayang anggaran yang telah terpakai.  Saya mengagumi keunikan gedung kampus, sama uniknya dengan pemikiran mendirikan kampus megah di sebuah Kabupaten.

bangunan kampus bagian dalam dari MegowPak yang juga tak terawat

kondisi taman di bagian dalam kampus Megowpak

 
kondisi bangunan Mushalla dan kantin saat ini. Seram!!!

 Jika saja, kawasan kampung tua (tiuh toho) dan bangunan lawas lainnya senantiasa di jaga keasriannya tentulah menjadi destinasi wisata unggulan Tulang Bawang. Melihat jajaran gedung dengan gaya arsitektur yang tak lagi dijumpai pada tahun 2000-an saja, saya sudah terkagum-kagum. Memang butuh komitmen untuk menjaga keluhuran budaya dan peninggalan yang ada di  Tulang Bawang. Tak perlu bangunan bangunan megah serba modern. Cukup jaga keasrian Tiuh Toho, Budaya Tulang Bawang nan agung, sudah menjadi daya tarik kunjungan bagi wisatawan yang menaruh minat pada sejarah – anthropology, dan keluruhan budaya lokal (local wisdom).  Selain pesona  sungai dan isinya yang melimpah dapat juga jadi daya tarik bagi mereka yang gemar meng-eksplorasi sungai. 
 
potensi  bentangan sungai dan kekayaan hasil sungai yang perlu diperhatikan.
 
Saya, keluarga Bik Cik dan Oom Rochman


Sehabis Maghrib saya melajukan kendaraan kembali ke Bandar Lampung.  Meski hujan deras, senyum bahagia saya menghias sepanjang berjalanan.  Kunjungan saya ketempat tempat menarik di Tulang Bawang bersama Oom Rochman malah berbonus hingga ke Tulang Bawang Barat ; ke Desa Gunung Katun, Panaragan, hingga melihat dari dekat  letak  kereta kencana  dan Islamic Center Tulang Bawang Barat yang modern tersebut. Lengkap dengan tragedi ban mobil meledak!!. 

bonus kunjungan ke Tulang Bawang barat - Islamic Center Tulang Bawang barat yang unik dan megah

kereta kencana dalam layout  tata kota Tulang Bawang Barat
 
Bila  nanti saya punya lebih banyak waktu, ingin rasanya mengunjungi  Tulang Bawang lebih lama. Bermalam di rumah tetua adat di kampung tua (tiuh toho) dan turut serta dalam aktivitas keseharian bahkan ritual adat masyarakat Menggala adalah keinginan saya selanjutnya. Semoga.

5 komentar :

  1. Ceritanya sangat menarik sekali, bahkan dalam hati saya berkata, ingin rasanya saya jadi penulis seperti Bang Indra.

    Daerah itu sering saya lewati kala saya sedang dalam perjalanan ke Jogja, sungguh sangat di sayangkan sekali bila bangunan2 yang mewah itu harus terbengkalai. Itulah sebab kurangnya perhatian dari Pemda setempat, mereka hanya memikirkan proyek tapi tidak memikirkan untuk berkelanjutan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Pangeran atas perkenan comment nya.... kamu juga tentu bisa menulis lebih bagus dari saya. saya masih belajar kok... belum masuk tataran bagus apalagi ahli heheheh. yaa begitulah pembangunan terkadang sekedar membangun tapi belum tentu membangun yang memang diperlukan rakyat setempat.

      Hapus
  2. Banyak yang bisa diceritakan mengenai Tulang Bawang.
    Mesti siapkan waktu khusus ke sana buat jalan2 ya. Mudah2an terlaksana.

    BalasHapus
  3. Dunia Menggala, Kerajaan Yang Masih Menjadi Penasaran Saya

    BalasHapus
  4. Gambar awal pada cerita ini itu adalah rumah Palembang dan pasar lama menggala dulunya di sebut dgn pasar ikan dan masih masuk wilayah kampung Palembang, ada pun kampung Bugis memang bertetangga dgn kampung Palembang di lihat dari bangunan rumah kampung Palembang rata-rata memiliki arsitektur yang berbeda jauh kampung Palembang krn merupakan pasar maka dibangunlah rumah panggung yang di bawahnya untuk berniaga atau berdagang sedangkan bagian atasnya untuk keluarga sedangkan rumah orang bugis rata-rata pagung saja karena mereka menetap di wilayah rawa dan mata pencarian mereka adalah sebagai nelayan.

    BalasHapus

Scroll To Top