Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Jumat, 26 Januari 2018

PELAYARAN PULAU MOYO - KISAH DUA JAM BERTARUH NYAWA




Dermaga pelabuhan Badas - Sumbawa.

Kami telah bersiap diri dan mengemas barang sejak pagi. Setelah melalui malam yang penuh kesan. Mulai dari masak suka-suka sesuai selera di warung makan, hingga terlelap dirumah bidan Mala.
Sesuai jadwal yang telah disepakati,  pukul 7 pagi kami harus meninggalkan pulau Moyo untuk segera berlayar kembali ke pelabuhan Badas.  Meski kemudian kami harus menunda keberangkatan karena gelombang laut terbilang besar. Bisa jadi karena semalam hujan deras. 

dermaga desa Labuhan Aji - pulau Moyo saat ombak tenang.
 
“kami pastikan dulu ombaknya aman, baru kita jalan…” ucap pak Mahdi empunya kapal yang kemarin mengantarkan kami  tiba di pulau Moyo dengan selamat. Saya terdiam. Begitupun yang lain. Tak mungkin kami memaksa keberangkatan bila sang nahkoda dan empunya kapal tak yakin aman berlayar. Sang pakar tentu lebih paham kondisi medan ketimbang saya dan rekan-rekan lainnya. Jadilah pagi itu kami isi dengan bincang banyak hal sembari sarapan di pondokan kayu depan warung persis berseberangan dengan rumah bidan Mala.

Baca juga kisah kunjungan kami ke Pulau Moyo  ; BERWISATA KE PULAU MOYO
 
Dua jam berlalu dari jadwal keberangkatan semestinya. Wajah-wajah cemas mulai melanda. “jangan dipaksa bila tak memungkinkan. Tak masalah kalo saya harus bermalam lagi disini.” sahut mba Lieke pada awak kapal. “Aman!. Kita bisa berangkat.” jawab sang awak kapal segera. Bergegaslah kami menuju dermaga didepan desa Labuhan Aji untuk menaiki kapal yang kemarin membawa kami setelah melakukan do'a bersama.  Tapi lagi-lagi ombak laut memecah di tepi pantai. Kapal yang akan kami naiki pun goyah di bibir dermaga. Berkali-kali mencoba untuk naik ke dalam kapal, selalu gagal. Ombak makin besar lengkap dengan seruan gemuruhnya yang menggelegar!. Kamipun takjub takut. Hanya bisa melempar ransel kedalam badan kapal. Sementara badan kami tak kuasa. Beberapa warga menyarankan kami untuk menaiki kapal dari dermaga Amanwana – sebuah kawasan resort mahal yang kerap jadi lokasi pelesiran para pesohor bila ke pulau Moyo. Kami pun mengikuti saran tersebut. Menumpanglah setiap kami pada sebuah sepeda motor milik warga yang masing-masing kami membayar Rp.50.000 – anggap saja, biaya tambahan untuk berganti dermaga agar dapat masuk kedalam kapal ketimbang diterjang ombak. Tenggelam, hilanglah badan!.

kondisi kapal di dermaga desa Labuhan Aji.  kami hanya titip barang dan bergesar menuju dermaga Amanwana.
  
Photo bersama sebelum memulai pelayaran dari dermaga Amanwana!.


SAPAAN MAUT GELOMBANG LAUT

Usai menyusuri jalan sepanjang 7 kilometer ke dermaga Amanwana, lengkap dengan kejadian motor yang saya tumpangi terbalik akibat melalui  jalan licin, kami berhasil masuk kedalam kapal.  Ombak dibibir dermaga Amanwana tidak seganas ketika di dermaga desa Labuhan Aji. Halangan untuk kembali ke Sumbawa pun berhasil kami lalui. Meski halangan sesungguhnya sedang mengintai.

Kapal kayu yang kami tumpangi dihalau ombak. Sejak mula pelayaran hingga saat kebagian tengah mengarungi laut Flores. Beberapa diantara kami mulai panik. Terlebih ketika gelombang besar menerjang dan percikan air laut mulai masuk kedalam badan kapal. Dalam suasana tegang, tak bisa saya merebahkan badan. Berkali-kali saya menghaturkan doa permohonan pada sang Pencipta. Komat kamit menutur do’a pun terlihat dari beberapa wajah. Suasana senang dapat berlayar tetiba tegang!. Gelombang tinggi berkali-kali menyentuh badan kapal dan menghasilkan gamang ditengah lautan. “Tuhan selamatkan saya” bisik saya memanjatkan doa. “Bapak bisa berenang?” tanya mba Lieke pada penumpang pria paruh baya warga pulau Moyo. Yaelaahhh…. Sempat-sempatnya mba Lieke bertanya soal si bapak pandai renang atau tidak, ditengah kepanikan kami semua menjaga badan yang mulai berpindah posisi akibat ayunan gelombang laut!!.

Saya pun semakin takut. Terlebih saya sadar diri tak pandai berenang sama sekali!!. Di kolam renang saja saya tenggelam, apalagi di laut lepas begini!!. Tanpa Life Jacket pulakk!!!. Mateekk Ngana!!!. “Tuhan selamatkan saya!!!” pekik saya dalam hati semakin keras. Semakin kuat sapaan gelombang semakin kuat saya memanjatkan do’a. Satu persatu tubuh dalam kapal merebahkan diri. Semakin saya takut menghadapi kenyataan. Tidaklah saya dapat memejamkan mata. Terlebih kedua kaki saya dipegangi erat si Bambang yang takut bukan kepalang sejak pertama ombak besar menghantam. -Bambang fikir kaki saya pelampung kale!!!.
Mba Donna merebah kaku disamping badan saya. Tak lagi nampak wujud anggun diri nan senyum menawan. Tak pula sempat pasang gelang-gelang ditangan atau kain ikat warna senada dikepala. Meski sesekali ia berusaha membuka ponselnya.
Saat ombak besar bertubi-tubi menghantam, saya sempat melayangkan pesan singkat pada istri agar mengiringi pelayaran saya dengan do’a selamat.
… saya dalam pelayaran. Ombak besar sekali. Mohon doa untuk keselamtan saya. 2 jam lagi saya kabari…
Pesan terbaca, tapi tak berbalas. Bisa jadi Istri saya sudah baca dan langsung berdo’a. Semoga.

suaasana dalam kapal. semua merebahkan badan kecuali 2 bapak paruh baya warga pulau Moyo yang ikutserta bersama kami. - lihat kelakukan bambang pegangan dengan kaki saya. Dia kira kaki saya pelampung kalee!!!.
 
Menit demi menit berlalu, dua jam pelayaran terasa lama. Berhari-hari rasanya. Sekuat tenaga saya memejamkan mata untuk dapat tertidur pulas seperti beberapa orang tapi tetap saja gagal. Saya pandangi semua tubuh yang tergolek pasrah di badan kapal. Sungguh pertaruhan nyawa dari sosok yang tak tahu harus melakukan apa. Saya pribadi mulai mencari-cari cara untuk menyelematkan diri bila sampai kapal karam. ….”Aaarrgghhh!!!. Jangan perfikir yang macam-macam!” teriak saya pada diri sendiri.  Berpuluh kali saya memikirkan hal-hal positif, tetap saja puluhan hal negatif memenuhi kepala.

 
MENGHARAP KEAJAIBAN ; BERTEMU DARATAN.

Kapal kayu terus bergerak. Ditengah hempasan ombak besar dalam bentangan laut yang tak bertepi. Berkali-kali mata saya membelalak melihat tingginya gelombang laut. Beberapa rekan tampak terbujur lemah memasrahkan nasib badan masing-masing. Beberapa awak kapal menatap wajah saya yang tegang tak bisa merebah tidur seperti yang lain. Bisa jadi penumpang lain, si bapak-bapak paruh baya itu menertawakan wajah panik yang telah saya pasang sejak awal pelayaran. Tak pernah menyangka akan mengalami adegan bak potongan film Perfect Storm.

Cemas terus berlanjut. Meski semua orang disekitar saya tertidur pasrah. Bisa jadi mereka semua berfikir soal penyelamatan diri bila kapal yang kami tumpangi kelak tenggelam. Bisa jadi mba Lieke sedang mengintrogasi rekan lainnya soal kepandaian berenang mereka. Bisa jadi pula mba Donna telah mengirimkan pesan melalui ponselnya agar datang bala bantuan, helikopter, atau apapun yang bisa menyelamatkan kami. Dua jam waktu pelayaran semakin tak berkesudahan. Sedang terjangan ombak semakin menjadi-jadi. Bila saja amarah ombak dapat reda dengan puluhan lagu dangdut, berkenanlah saya berdendang untuk si Ombak!. Lengkap dengan goyang chebox dan jogged super faedah!. Please…Ombak tenanglah barang sesaat saja.

harap harap cemas berharap menemukan dataran pelabuhan Badas
 
Helaan nafas di ujung kerongkongan dan detak jantung yang pasrah melambat berangsur membaik ketika gugusan pulau terlihat dari kejauhan. Pelabuhan Badas menanti kami.  “Ia kalo selamat sampai ke pelabuhan Badas?!” seru sisi negatif dalam badan saya.  Dua nahkoda kapal yang bertugas silih berganti itu seolah sedang berjuang untuk keselamatan seisi kapal. Meski kadang saya gemas lihat pembawaan mereka mengatur kemudi kapal yang seolah sedang bertanding balapan dalam wahana permainan. Huhft!!.

Perlahan kapal mendekat ke tepian. Bentuk daratan itu begitu nyata. Kapal-kapal besar terlihat. Jika pun kehendak Tuhan membalikkan kapal yang kami tumpangi, setidaknya ada puluhan pasang mata yang bekerja di dermaga melihat kami dan kemudian membantu menyelamatkan kami.
Huuuhhhhggggg!!!!!. Saya berteriak lega, ketika kapal yang kami tumpangi benar-benar mendekat ke bibir dermaga pelabuhan Badas. Seisi kapal bersorak. Suka cita nyata terlihat. Rona wajah pucat pasi penuh takut berubah binar bahagia. Teriak lega memecah setelah dua jam bertaruh nyawa di laut Flores yang tengah mengganas. Peringatan larangan berlayar di bulan Januari dan Februari itu benar adanya.

Kamipun bergegas keluar dari kapal. Layaknya keluar dari keranda kayu yang berpuluh tahun mengapung di laut lepas!. Sebelum berlalu, saya sempatkan menjabat erat dan berucap terima kasih pada si pemilik, nahkoda dan awak kapal termasuk 2 pria warga pulau Moyo yang ikut serta dalam pelayaran kami. Kami selamat!. Maka photo bersama usai dua jam bertaruh nyawa pun adalah kewajiban. Termasuk bergegas mengisi perut yang kelaparan dan meregangkan otot badan yang terasa kaku selama pelayaran.


mengeabadikan diri dengan salah satu nahkoda yang telah membawa kami selamat kembali ke Sumbawa.

  
mengabadikan wajah-wajah usai bertaruh nyawa! Alhamdulilah Selamat!!! Something Memorable!!!
 
Bila pengorbanan untuk tandang kesuatu objek wisata itu benar adanya, maka apa yang terjadi pada saya dan rekan-rekan dalam pelayaran sekembalinya kami dari pulau Moyo dapatlah dikatakan sebagai pengorbanan untuk pembuktian indahnya air terjun Mata Jitu dan pemandian mendiang Puteri Diana benar-benar nyata. Kapok?, tentu tidak!!. Meski tetap waspada akan keselamatan diri diatas segalanya. Karena setiap kisah perjalanan menjadi bagian hikmah dari pelajaran hidup yang sebenarnya.

7 komentar :

  1. ish.. bikin pengen ke sana.. huhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku aja mau kesana lagi. semoga nanti pas summer. amin.

      Hapus
  2. Gue udah gak bisa mikir saat harus lompat ke kapal yang terombang-ambing di dermaga. Terus lega melihat tenangnya air di dermaga Amanwana. Makanya bisa foto senyum sebelum berangkat. Tapiiiii... Setelah ituuu, bayangan buruk hilir mudik di kepala gue. Cuma bisa berdoa,istighfar dan berharap. Bolak balik liat hape itu ngeliat jam, berapa lama lagi sampai daratan dan masih bisa selamatkah sampai ke daratan hahaha. Hadeeeeuuuuh...

    BalasHapus
  3. Waduh kalo aku yg di kapal mungkin udah pucat dan muntah. Part mas bambang megangin kaki itu kok kocak :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bambang udah panik sejak kapal pertama berlayar.

      Hapus
  4. Mas kalau mau naik kapal ke moyo ada contact person kah untuk bantu arrange tiket kapal? Atau langsung ke pelabuhannya? Oiya berangkat ke moyo dari pelabuhan apa?

    BalasHapus

Scroll To Top