beberapa contoh gambar Emoticon yang mewakili rasa personal - Photo from www.independent.co.uk |
Dalam
kesempatan menjadi trainer untuk materi personality
development program, saya kerap berkisah seputar Generasi Emoticon.
Generasi
Emoticon adalah sebuah ungkapan yang saya dapat ketika berbincang santai di
sebuah kedai kopi bersama mba Lia – partner yang kerap saya ajak diskusi banyak
hal.
Pada
dasarnya Generasi Emoticon adalah gelar yang diberikan pada mereka – khususnya
remaja, yang memiliki kecenderungan
sulit mengekspresikan kata kata yang ia ucapkan maupun perasaan yang sedang ia
alami melalui sebuah ekspresi.
Sebenarnya
defenisi Generasi Emoticon bukanlah hal baru yang murni penemuan saya dan mba
Lia. Itu semua berdasarkan kesepakatan dalam sebuah pembicaraan saja. Karena
jauh sebelum kesepakatan yang terjadi dari perbincangan di kedai kopi tersebut, seorang Rhenald Kasali – guru besar
Universitas Indonesia yang banyak menerbitkan buku buku best seller menegaskan dalam bukunya yang berjudul Self Driving bahwa generasi muda
(mahasiswa) haruslah pandai merespon beragam kondisi yang sedang terjadi, agar
tidak terjadi kesalahan dalam persepsi rasa. Nah, persepsi rasa tersebutlah
yang kemudian menjadikan seseorang sulit mengekspresikan beragam hal yang
dirasa dengan tepat.
Dalam
konsep Rumah Perubahan yang didirikan oleh Rhenald Kasali – jelas terlihat
bahwa pemberdayaan remaja untuk menjadi agent
of change – agen perubahan adalah sesuatu yang tak dapat di tawar. Dengan
semakin majunya perkembangan zaman disertai canggihnya teknologi masa kini
membuat segenap pihak harus pandai merespon ragam kondisi yang ada.
Termasuk
dalam hal mengekpresikan rasa, Generasi Emoticon – merupakan suatu
kecenderungan personal yang mengindikasi pada sulitnya seseorang
mengekspresikan diri. Hal ini kerap terlihat saat menyaksikan sekumpulan remaja
yang sedang berbincang tapi dengan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang biasa saja. Penuturan yang flat - lebih pada
ungkapan ungkapan yang dilakukan hanya sebuah pelengkap saja. Belum lagi
kecenderungan berkumpul tetapi tanpa melakukan pembicaraan apapun selain asik
masuk dalam dunia maya melalui gadget
canggih masing masing. Ditambah isi pembicaraan yang ringan ringan saja membawa
seseorang cenderung sederhana dalam berekspresi.
Generasi
Emoticon tidak hanya terjadi pada remaja. Karena ketidakmampuan ber-ekspresi
dengan tepat bisa saja terjadi pada sosok dewasa dengan tingkat pendidikan yang
cukup baik. Generasi Emoticon bermula dari
lingkungan rumah dimana seseorang berasal. Kurangnya komunikasi yang intens
dengan kualitas percakapan yang cukup antara orang tua dan anak dapat
menyebabnya seseorang memiliki kendala dalam men-ekspresikan rasa. Termasuk
didalamnya kebebasan anak anak dalam meng-ekspresikan diri dihadapan orang tua
menyebabkan anak anak cenderung menjadi sosok yang flat.
Generasi
Emoticon cenderung pandai berkomunikasi melalui media – via chatting, mewakilkan
rasa yang ia alami melalui gambar gambar emot yang menarik yang tersedia di
ponsel canggih meski sebenarnya rasa yang sebenarnya tidak terjadi secara
langsung pada diri mereka. Generasi
Emoticon juga akan lamban bahkan cenderung sulit merespon kondisi lingkungan
yang sedang terjadi. Contoh, ketika sebuah peristiwa terjadi dihadapannya,
Generasi Emoticon butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya ia memahami
peristiwa tersebut. Generasi Emoticon
juga kerap mengabdikan dirinya menjadi sosok “pendengar setia” tanpa pernah
ikut terlibat dalam pembicaraan ketika ada dalam kelompok. Jikapun ikut bicara
biasanya hanya ala kadarnya.
Generasi
Emoticon mengindikasi adanya kesulitan personal dalam mengemukakan diri dan
perasaan yang dialami secara tepat. Baik berupa argument maupun gerak tubuh yang sesuai. Hal ini juga bisa terjadi
karena kurangnya pergaulan seseorang. Atau, jikapun bergaul hanya pada beberapa
orang yang memang masuk dalam kategori zona nyamannya saja. Ada pula
kecenderungan mengenal gadget sejak usia dini hingga masa remaja dan dewasa
tanpa rentang waktu yang memadai untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial secara
langsung menyebabkan seseorang sulit mengekspresikan diri. Termasuk didalamnya
sosok sosok personal yang terlalu banyak beraktivitas di depan layar komputer
atau beraktivitas dengan mesin atau benda mati lainnya membawa pada
kecenderungan sulit berekspresi ketika berhadapan dengan khalayak. Pengalaman
dan pergaulan dengan lingkungan secara langsung juga dapat menjadi penyebab seseorang
menjadi Generasi Emoticon. Itulah sebabnya sebanyak mungkin berinteraksi dengan
lingkungan melalui keterlibatan beragam aktivitas menarik akan membawa
seseorang menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mampu merespon segala kondisi
dengan tepat. Bahkan terlibat aktif dalam organisasi sejak masa SMA hingga
dewasa akan memberikan pembelajaran yang baik pada diri individu yang berdampak
pada perbaikan personal. Zaman semakin canggih. Teknologi memang memiliki porsi
penting dalam pembangunan tetapi bukan berarti kita jadi personal yang flat.
Ekspresi yang tepat pada kondisi yang terjadi dalam lingkungan pergaulan akan
memunculkan karakter personal yang menarik.
Aku sampai membaca dua kali tulisan ini. Couldn't agree more, Bang. Salah satu yang berpotensi juga mengapa seseorang terlihat seperti generasi emoticon, menurutku, kurang bahan bacaan yang baik. Kekurangan bacaan yang baik juga berkontribusi terhadap rendahnya imajinasi. Sebab salah satu syarat seseorang bisa berbahasa, berekspresi sepantasnya, adalah otak yang mampu berimajinasi.
BalasHapusTop ini tulisannya Bang. Kalau ada yang tersinggung ya dimaklumi saja. Kepala boleh sama-sama hitam tapi pikiran pasti berbeda kan :)
hehehehhe thanks yaaa mba.... yaa begitulah, terkadang ada pihak pihak yang merasa tersinggung padahal ini tulisan berupa opini saya. berdasarkan pengalaman saya menjadi pembicara dalam tema public speaking dan kemudian mengamati kecenderungan remaja masa kini..hehehe...thanks buat dukungannya mba...mamak kesayangan kameha-meha.
BalasHapus