Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Rabu, 16 Maret 2016

MENENGOK KESAHAJAAN MASYARAKAT DESA RANGAI



rumah rumah panggung khas masyarakat nelayan desa rangai
jajaran rapih rumah masyarakat desa Rangai



Terkadang hal hal menarik itu justru datang dari suasana ala kadarnya, natural tanpa rekayasa serta sikap terbuka tanpa perlu ber-drama. Begitulah kiranya yang terjadi siang itu. Sebagai pengantar barang atas perintah bapak mertua, saya kembali menemukan suasana menarik kala melalui jalan lintas Soekarno Hatta. Selepas perbatasan kawasan kota Bandar Lampung, persisnya di desa Rangai - Tri Tunggal kecamatan Katibung kabupaten Lampung Selatan. 

Sebagai kawasan Lampung Selatan yang cukup dekat dengan pusat kota Bandar Lampung yang kerap di sebut Ketibung inipun memiliki dermaga nelayan yang cukup besar. Bahkan sebagai dermaga yang menampung hasil tangkapan nelayan, kawasan ini juga memiliki pasar ikan yang cukup besar. Tak kalah besar dan ramai dengan tempat pelelangan ikan Lempasing di ujung kawasan Teluk Betung Timur – Bandar Lampung. Bentangan garis pesisir Teluk Lampung sungguh memesona untuk disimak.

Dermaga Rangai


Beranjak tengah siang, panas semakin terik, baik suasana pasar maupun pelelangan ikan di dermaga Rangai nampak lengang. Tak ada pengunjung yang melakukan transaksi jual beli. Hanya beberapa penduduk yang sedang melaksanakan aktivitas hariannya.
Diantara perahu perahu yang tertata rapih, saya melihat barisan rumah panggung khas para penduduk pesisir yang sangat bersinggungan dengan bibir pantai. Sama dengan kondisi di setiap kawasan masyarakat pesisir.  Tak pernah bosan menatap hamparan laut. Terlebih gugusan Pulau Condong yang dapat dengan mudah diakses dari Pantai Pulau pasair atau Pasir Putih yang letaknya tak jauh dari letak dermaga Rangai. Pria pria paruh baya tampak tenggelam dalam kesibukan mengecek kondisi kapal mereka. Ibu ibu rumah tangga pun terlihat melakukan rutinitas mereka, mulai dari mencuci pakaian, meracik masakan untuk keluarga di dapur yang langsung menghadirkan bentangan air laut. Dibeberapa bagian ada pula ibu ibu yang tengah menyiangi ikan ikan yang ia beli dari nelayan di dermaga. Ikan ikan tersebut kelak akan ia jemur dan asini sebelum dijemur dan kemudian dijual kala telah berubah wujud menjadi ikan asin ala industri rumahan.

Ibu pengolah ikan asin

Ikan yang telah dibersihkan lalu dijemur.

Ikan asin olahan rumah tangga di jual di pasar pinggir dermaga


Yang juga tak kalah menyenangkan dalam pandangan saya siang itu adalah suasana bermain anak anak dibeberapa bagian dermaga. Diantara anak anak yang kembali dari sekolah tampak sekumpulan anak bermain dengan mainan khas anak anak desa ; main kelereng, lompat tali hingga petak umpet. Tanpa gadget ataupun mainan canggih lainnya layaknya anak perkotaan.

Barak jual beli ikan di dermaga Rangai


“Sebenarnya, dermaga Rangai rame pas pagi dan sore hari, yaa… saat nelayan kembali dari melaut pasti ramai, pedagang di pasar sini juga menjual ikan dari hasil para nelayan itu.” penjelasan seorang ibu yang sedang mengolah ikan segar ketika saya tanyai tentang dermaga Rangai yang kala itu nampak lengang.


Suasana dermaga rangai katibung lampung selatan yang rapih dan bersih
Suasana dermaga yang bersih dan rapih


 
View Pulau Condong yang juga dapat jadi wisata bahari yang mudah di kunjungi.

Sembari berbincang dengan beberapa ibu ibu yang sedang beraktivitas di pasar ikan, saya juga menikmati suasana kampung nelayan dengan rumah rumah panggung berjajar rapih. Sangat kontras dengan jajaran perahu nelayan yang bersandar di dermaga.
Bagi saya, menyaksikan kehidupan harmonis masyarakat desa Rangai bagai melihat keindahan hidup dalam kesederhanaan. Terlebih cara mereka menyambut saya, keterbukaan mereka akan pertanyaan pertanyaan yang saya ajukan merupakan bukti nyata bahwa mereka berkenan menerima kehadiran pendatang. Sungguh bagai inspirasi kehidupan yang saya dapat tanpa perlu membayar mahal. Cukuplah memesan secangkir kopi dengan gorengan, lalu mengajak bincang ibu ibu pekerja rumahan maka semangat jiwa kembali membara. Masih pantaskah mengeluh akan hidup ?, jika para nelayan yang menghidupi diri dan anak istri mereka saja harus berjuang sekuat tenaga melawan terpaan ombak laut  agar terus dapat  bertahan hidup.

8 komentar :

  1. kapan2 kita coba datang pas subuh yuuk, mungkin lagi ramai2nya nelayan kembali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap Oom... kita jadwalkan dulu LamTim itu heheheheh

      Hapus
  2. Rumah yang berjajar itu cantik, ndra. View ke arah Pulau Condongnya juga. Jadi ingat pelabuhan ikan Tanggamus, pasti ramai kalau pas nelayan nurunin tangkapan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ia mba. Aku menikmati nongkrong disitu Sayang Aku dateng siang bolong saat sedang Tak Ada aktivitas di dermaga. Next lah dijadwalkan lagi

      Hapus
  3. Kakak, engkau semakin keren. Menangkap momen lalu menceritakannya dengan enak. Bravo. Aku menikmati membaca pebemuan kampung nelayan ini. Walau pas sedang sepi tapi kehidupan di dalamnya terasa kok

    BalasHapus
    Balasan
    1. aaahhh si mbak bisa ajaaaa...kan aku belajar dari dikau mba....masih belajar pingin layout blog nya se kece mbaaaa ehhehehehe.
      btw, saya mah kalo jalan dikit ada yang menarik di tulis (akibat gak pernah keluar kota) hahahaha

      Hapus
  4. Makasih sudah mengangkat tema tempat kelahiran ku.

    BalasHapus
  5. Tulisannya mempresentasikan keadaan yang sebenarnya, terus berkarya, terimakasih sudah menulis tentang daerah asal dan kampung kelahiran saya.

    BalasHapus

Scroll To Top