Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Senin, 03 Desember 2018

PENGALAMAN TANDANG KE PURA LEMPUYANG


Saat  memutuskan untuk menikmati Bali dengan bersepeda motor, Ubud dan Karangasem adalah tujuan utama saya.  Meski kemudian sempat singgah kebeberapa spot menarik sebagai bonus dari perjalanan. Tapi yang buat saya kebelet pengen ke Karangasem tak lain karena  ingin tandang langsung ke Pura Lempuyang Luhur. Bukan hanya soal bentuk pura yang mengandung nilai sejarah, tetapi ada keinginan untuk bersantai sembari seruput kopi berlatar gunung Agung!. Sungguh keinginan yang receh sekali ya?, hahaha. Meski terbilang receh, tetaplah di jabani, lets go!

Pasar Kuliner di kota Amlapura - Karangaseum, Bali

Setelah sepanjang hari menikmati beberapa spot menarik di Karangasem, saya memutuskan untuk bermalam di Amlapura. Sebuah kota dalam kabupaten Karangasem yang begitu tenang. Tak banyak kendaraan hilir mudik di jalan utama. Saya sempat menikmati makan malam disebuah pasar kuliner sebelum akhirnya memutuskan tidur lebih awal di  homestay karena akan memulai kunjungan ke Pura Lempuyang pada pagi esok.  Ingin juga rasanya eksplorasi malam minggu di kota Amlapura. Tapi tahu dirilah, besok  saya butuh banyak tenaga.

Alarm yang saya atur di dua ponsel berbunyi bersamaan pada pukul 4 pagi. Saya pun bergegas mempersiapkan diri untuk mengendarai sepeda motor sewaan menuju Pura Lempuyang Luhur. Berdasarkan informasi petugas homestay, saya butuh waktu 30 menit  bersepeda motor menuju lokasi Pura Lempuyang Luhur. Oh ya, berdasarkan obrolan dengan petugas homestay juga  bahwa masuk ke bagian dalam Pura wajib menggunakan kain, maka saya membawa serta kain hias yang ada di kamar homestay yang kelak akan saya kenakan saat tandang ke bagian dalam Pura Lempuyang Luhur.

ranjang homestay dan kain kotak kotak itulah yang saya kenakan saat tandang ke Pura Lempuyang Luhur
Melawan udara dingin saat bersepeda motor seorang diri di pagi buta adalah hal seru. Beberapa warga terlihat memulai aktivitas pagi mereka. Pasar tradisional yang saya lalui pun mulai ramai. Menuju lokasi Pura Lempuyang Luhur tidaklah sulit. Selain menyimak google map, saya juga menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) bila bingung akan rute jalan. Meski sebenarnya rambu jalan menuju Pura cukup membantu. Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang. Sebuah Pura yang keberadaannya tergolong tua di Bali. Bahkan diperkirakan telah ada pada zaman pra Hindu – Budha.

Usai melalui rute menanjak dan melewati beberapa desa tibalah saya di lokasi Pura Lempuyang Luhur. Karena saya menggunakan sepeda motor maka dapat langsung parkir di lokasi parkir dekat pintu masuk Pura. Tapi bagi yang membawa kendaraan roda empat, maka kendaraannya diletakkan di desa Purahayu – desa terdekat dengan letak Pura Lempuyang Luhur dan menuju lokasi akan diangkut dengan mobil bak terbuka dan membayar Rp.20.000 per orang (PP). Hal tersebut dikarenakan areal parkir untuk kendaraan roda empat di dekat lokasi Pura tidak memadai. 

Wujud Gunung Agung telah terlihat dari desa Purahayu
Mulanya, pada tahun 1950 terdapat tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari  pohon hidup di lokasi Pura Lempuyang Luhur saat ini. Barulah pada tahun 1960 dibangun dua padma kembar  dan sebuah padma tunggal bale piyasan dalam kawasan Pura Lempuyang Luhur. Secara makna,  kata Lempuyang berasal dari kata ‘Lampu’ yang berarti Sinar dan ‘Hyang’ yang bermakna Tuhan, seperti Hyang Widhi. Jadi makna dari Lempuyang adalah sinar suci Tuhan yang terang benderang.

Sebelum kebagian dalam, seluruh pengunjung wajib mengisi buku tamu dan membayar uang masuk seikhlasnya (saat itu saya bayar Rp.15.000,-) serta mengenakan kain yang telah disiapkan oleh petugas.  Dan petugas memperkenankan saya memakai kain yang saya bawa sendiri dari homestay (tepatnya, kain hias di kamar homestay). Sebelum masuk, petugas juga sempat menjelaskan sejarah singkat Pura Lempuyang Luhur termasuk menjelaskan tata letak Pura, fungsi dan beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan oleh pengunjung.

beberapa warga yang akan melaksanakan Sembahyang di Pura Lempuyang Luhur
Usai mendapat penjelasan singkat oleh petugas saya bergerak menuju bagian dalam Pura dengan rute jalan menanjak dan meniti beberapa anak tangga. Sembari berjalan saya kembali mengingat penjelasan petugas bahwa ada Palinggih atau bangunan suci yang terdapat di dalam Pura, yakni sebuah Padmasana yang terletak di bagian utara menghadap ke selatan sebagai Parhyang Bhatara Luhuring Akasa. Lalu dua buah bangunan suci  lainnya berbentuk padmasana yang pondasinya menjadi satu terletak pada bagian timur menghadap ke barat. Dan yang sebelah utara sebagai Parhyangan Hyang Gnijaya dan yang di sebelah selatan sebagai Parhyangan para putera beliau.

Sebenarnya, saya sendiri tidak sampai pada puncak dari Pura Lempuyang Luhur. Saya cukup berhenti di bagian muka dari Candi Gelung yang memiliki 3 tangga yang menghubungkan ke 3 pintu dengan fungsi yang berbeda.  Tangga di bagian tengah dilarang digunakan oleh pengunjung umum karena hanya untuk kegiatan sembahyang atau upacara adat.  Bentuk tangga pada Candi Gelung juga menarik untuk disimak karena dilengkapi dengan arca Panca Pandawa yang terdiri dari Krisna sebagai simbol Tuhan – reinkarnasi Dewa Wisnu. Lalu ada 5 arca yang merupakan lima sifat luhur yang perlu manusia dapatkan secara bertahap untuk dapat dekat dengan sang Pencipta. Terdapat arca Yudistira sebagai simbol kepemimpinan yang bijak, Bima sebagai simbol kekuatan, Arjuna sebagai simbol kecerdasan (intelektual), Nakula sebagai simbol hati yang baik, dan Saladewa sebagai simbol keramahan.  

Candi Gelung

antrian photo di Candi Bentar demi angle yang kece

Usai menyimak bagian dari  anak tangga pada Candi Gelung saya menghabiskan waktu di depan Candi Bentar yang banyak dijadikan pose berphoto para pengunjung. Terlebih wujud Gunung Agung dan suasana matahari terbit yang kelak menambah keindahan  hasil photo.  Bentuk Candi Bentar serupa dengan posisi tangan Anjali Madra yang memiliki makna penyatuan. Candi Bentar juga merupakan gerbang penyambutan bagi para pengunjung. Jadi di bagian muka dari Candi Gelung itulah saya menghabiskan waktu pagi menunggu matahari terbut untuk nantinya berpose di depan bangunan gerbang yang disebut dengan Candi Bentar.

mayan, minta photoin pengunjung lain dapet nya begini (setelah dikasih sentuhan editing dikit) hahahah

Karena semalam turun hujan. Kabut di kawasan Pura Lempuyang begitu tebal. Saya dan pengunjung lain  butuh waktu  dua jam untuk menunggu kabut bergerak perlahan agar saat photo nantinya  terlihat wujud gunung Agung dikejauhan. Dan usaha menunggu pun tak sia-sia. Wujud Gunung Agung pun nampak meski suasana matahari terbit tak begitu bercahaya. Lumayanlah. Saya sempat mendapat informasi dari remaja sekitar Pura bahwa saat Gunung Agung meletus pada akhir 2017 silam, Pura Lempuyang tidaklah terkena dampak berarti. Hanya desa-desa yang berada di lereng gunung saja. "Malah banyak photographer yang memotret Gunung Agung dari Pura Lempuyang ini mas" ujar sang remaja yang saya tanyai.

cita cita receh!, minum kopi berlatar gunung Agung,

Puas berpose dengan latar gerbang Candi Bentar dan wujud Gunung Agung, saya bergegas ke sebuah kedai kopi dibagian bawah dari Pura. Persis dekat loket tiket masuk saat awal kedatangan. Disana saya memesan kopi hitam tubruk citarasa Bali. Aroma dan rasanya benar-benar nikmat!. Terlebih saat saya menikmati secangkir kopi berlatar Gunung Agung.  Seketika tubuh dan fikiran kembali segar saat melihat hamparan alam yang begitu indah. Pepohonan hutan yang dijaga serta pemukiman warga yang bersih dan teratur.  Tak terasa waktu menunjukkan pukul 8.30.  Saatnya saya kembali ke homestay untuk mengemas barang dan melanjutkan perjalanan motoran ke kawasan Kuta dengan menikmati waktu pelesiaran di Kuta Bali.

15 komentar :

  1. itu tempat terhits sepanjang tahun 2018.
    waktu kak indra ke sana, ramai sekali kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup. pas aku dateng karena masih pagi gak terlalu rame...ada 8 orang aja laahh... emang kudu antri buat photo disitu yaa tau diri ajaa jangan lama lama hahahhaa

      Hapus
  2. Salu sama orang-orang yang berjejer antre oto di gerbang tersebut. Saya pernah lihat story instagram teman begitu ramai yang antre :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang kalo udah diatas jam 7 pagi tamu lebih banyak ...makanya aku jam 4 pagi udah otw dari homestay ehehehhe

      Hapus
  3. Keren banget view Gunung Agungnya, kemarin mampir ke Karangasem nggak sempet ke Pura Lempuyangan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. suasana desa sekitar juga seru. aku aja mau lagi ke sana kalo nanti ke Karangasem lagi

      Hapus
  4. Travel blogger cadas ini. Sendirian menembus dingin Bali demi Pura Lempuyang. Tapi terbayar langsung dengan kayanya pengalaman seperti yang tertuang dalam pos ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener bangeeedddd.....pagi buta kedinginnan kebayar ama view tjakep nya hehehehe

      Hapus
  5. seriusan sendirian? wuieehhhh, dahsyat bang! Menikmati kopi dgn latar gunung Agung sesuatu bgt tuh!

    BalasHapus
    Balasan
    1. yes... sendirian dan photo nya minta di photoin sama orang .. gunakan TONGBROH (tolong dong Broh) heheheheh

      Hapus
  6. Oh, Candi bentar itu tempat foto yg kece badai tapi antriannya bisa mengular panjang banget ya?

    Saya tandai postingan ini karena saya juga ingin ke kawasan Pura Lempuyang ini. Ahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup. antriannya emang banyak buat photo. tapi kalod ateng lebih awal, antrian masih sepi hehehehe...makanya aku udah jalan jam 4 menuju Candi.... kalo udah jam 8 pagi ruame bgd! hehehehe...aku pun masih ebrharap bisa kesini lagi...

      Hapus
  7. Pemandangannya amazing banget ya bikin betah

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup mba... pinginnya berlama - lama tapi sadar diri ada jadwal lanjutan hehehehe kelak bakal kesini lagi...

      Hapus
  8. kemarin waktuku terbatas banget di Karangasem.. huhu belum sempat ke pura ini.

    BalasHapus

Scroll To Top