![]() |
Rumah Panggung khas Lampung |
…”Piil, wooy… Piil..”
demikian
sepenggal kata yang terucap dengan suara bervolume keras dari obrolan yang terjadi antar dua pemuda di
sebuah kedai kopi. Sebagai pribadi yang
lahir dan besar di Lampung dengan mewarisi darah suku Lampung Pepadun dari Ayah
saya, tentu saya mengerti maksud dari kata Piil
yang terlontar dari pemuda tersebut.
Obrolan pemuda
di kedai kopi sore itu membawa keinginan saya untuk menggali makna lebih dalam
dari Piil Pesenggiri tersebut. Bukan
hanya sekedar tahu. Terlebih ada
persepsi yang menurut saya – cukup keliru, yang sering terjadi saat seseorang
atau suatu pihak memaknai Piil Pesenggiri.
Keinginan untuk
memahami makna Piil Pesenggiri yang saya yakini sebagai filosofi masyarakat
Lampung nan agung dalam berkehidupan yang telah ada sejak dahulu tersebutlah
yang kemudian membawa saya membuka beberapa buku di Perpustakaan Daerah Lampung
sebagai rujukan dan referensi termasuk mendatangi tokoh bernama Amrin Ayub –
Tuan Pangiran dari Balai Kencana Adat Tiyuh/Anek Tuho Rajobaso Marga Balau
Bandar Lampung, yang kemudian memperkaya pemahaman saya.
Piil Pesenggiri
bagi masyarakat Lampung memiliki makna sebagai cara hidup (Way of Life). Ini bermakna,
setiap gerak dan langkah kehidupan orang Lampung dalam kehidupan sehari-hari
dilandasi dengan kebersihan jiwa. Dari tindakan ini tercermin hubungan vertical
dan horizontal dalam masyarakat Lampung berupa keimanan pada Tuhan dan
pergaulan sosial pada sesama. Etos dan spirit kelampungan inilah yang harus
ditumbuhkembangkan untuk membangun eksistensi orang Lampung dan penanda
kearifan lokal di era keragaman global saat ini.
Suku Lampung
dalam jejak rekam sejarah tercatat sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki
peradaban tinggi. Bukti nyatanya suku Lampung memiliki aksara baca tulis yang
bernama Ka Ga Nga, bahasa dalam dua dialek Nyow dan Api,
tatanan acuan pemerintahan dalam kitab kuntara raja niti (kitab hukum tata negara),
tradisi, arsitektur, sastra dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang turun
temurun.
Selain itu,
salah satu penanda atau cirri suatu masyarakat memikiki peradaban juga ditandai
dengan adanya filsafat dan falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan.
Artinya, setiap titi gemati atau budaya pasti memiliki dasar filosofi yang
mengandung hikmah bagi masyarakatnya. Adat Lampung pun mempunyai Piil
Pesenggiri sebagai dasar filosofiinya.
Orang Lampung
Pesisir menyebutnya : Ghepot Dalom
Mufakat (prinsip persatuan); Teranggah
Tetanggah (prinsip persamaan); Bupudak
Waya (prinsip penghormatan); Ghopghama
Delom Bekeghja (prinsip kerja keras); Bupil
Bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).
Kemudian Lampung
Pepadun menyebut ; Piil Pesenggiri
(prinsip kehormatan); Juluk Adek (prinsip
keberhasilan) Nemui Nyimah (prinsip
penghargaan); Nengah Nyapur (prinsip
persamaan); Sakai Sambayan (prinsip
kerjasama).
Kearifan lokal masyarakat
Lampung yang terkandung dalam Piil Pesenggiri
ini biasa dijadikan modal dalam menggiatkan pembangunan bumi Lampung. Falsafah
ini pula yang meng-inspirasi dan menjadikan spirit lahirnya motto ‘Sai Bumi Ruwa Jurai’ = Satu Bumi Dua Jurai (Suku) – yakni suku
Lampung Asli (Pepadun dan Saibatin) dan suku pendatang (beragam suku yang
datang dari luar provinsi Lampung). Motto Sai
Bumi Ruwa Jurai itulah yang menggambarkan masyarakat etnis Lampung memiliki
keterbukaan untuk menerima dan melindungi eksistensi jurai atau suku pendatang
untuk bersama sama tinggal berdampingan dan membangun bumi Lampung.
Lampung juga merupakan
daerah terbuka terhadap pendatang, buktinya Lampung merupakan daerah
transmigrasi pertama di nusantara. Kehadiran transmigrasi pertama dilakukan
oleh pemerintah pada tahun 1905 di daerah Bagelen – Gedong Tataan yang kini
masuk kabupaten Pesawaran.
·
Ingin tahu tentang Museum Transmigrasi di
Lampung silakan klik alamat ini… http://eviindrawanto.com/2015/11/jejak-pertama-orang-jawa-di-museum-ketransmigrasian-lampung/
Piil Pesenggiri yang merupakan falsafah hidup orang Lampung memiliki
arti harga diri, maknanya prinsip prinsip yang harus dianut agar seorang itu
memiliki eksistensi atau harga diri. Adapun Piil
Pesenggiri sebagai penyangga (pilar) utama filosofi orang Lampung disokong
empat pilar penyangga yaitu Nemui Nyimah
(produktif), Nengah Nyapur
(kompetitif), Juluk Beadek (inovatif) dan Sakai
Sambayan (kooperatif)
·
Nemui
Nyimah
Nemui berarti Tamu
Nyimah atau Simah berarti Santun.
Bagian Nemui Nyimah ini sebagai perlambang kala masyarakat Lampung menjamu
kehadiran tamu. Simah adalah sebagai penentu. Keterbukaan terhadap seluruh
masyarakat yang menjalin hubungan saat bertamu. Sikap sopan santun kala bertamu termasuk
didalamnya menjamu tamu yang datang berkunjung pun menjadi perhatian masyarakat
Lampung. Tindakan ini merupakan penerapan prinsip membina tali silaturahmi baik
terhadap generasi sebelumnya maupun generasi mendatang.
·
Nengah
Nyapur
Nengah memiliki arti kerja
keras, berketerampilan dan bertanding. Kata Nengah
haruslah bersanding dengan kata Nyapur yang berarti tenggang rasa dan
jiwa kompetitif. Nengah Nyapur juga
merupakan salah satu upaya masyarakat lampung membekali diri dengan kemampuan
dalam mengarungi kehidupan untuk kemudian dimanfaatkan secara optimal bagi
kemakmuran umat manusia. Termasuk tekad untuk terus menerus belajar baik
belajar dibidang akademik maupun belajar melalui pengalaman.
·
Bejuluk
Beadek
Bejuluk atau Juluk berarti nama baru ketika seseorang
mampu mencapai cita citanya.
Adek berarti gelar atau nama
baru yang di sandang.
Bejuluk Beadek pun kemudian menjadi bagian dari tata cara pemberian gelar.
Pemberian gelar atau nama biasanya melalui acara Seghak Sepei untuk Juluk
dan upacara Mepadun untuk Adek. Nama-nama baru hanya diberikan
ketika ada sesuatu yang baru. Dengan demikian maskayarat Lampung selalu
menginginkan terjadinya perubahan pembaharuan dan inovasi. Bejuluk Beadek juga merupakan salah satu sikap dari masyarakat Lampung
yang mencerminkan pada kerendahatian dan kebesaran jiwa untuk saling
menghormati baik dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat.
·
Sakai
Sambaian
Sakai atau Akai berarti terbuka dan bisa
menerima sesuatu yang datang dari luar.
Sambai atau Sumbai (utusan) berarti memberi.
Sakai Sambaian dapat diartikan sebagai sifat kooperatif, gotong royong atau
urun rembuk masyarakat Lampung pada lingkungan dimana mereka bertempat-tinggal.
Seiring
berjalannya waktu, falsafah hidup masyarakat Lampung yang tertuang dalam Piil
Pesenggiri mengalami ketidakmaksimalan dalam penerapannya meski sebagian
kelompok masyarakat Lampung masih memegang teguh bahkan menerapkan butir butir
dari isi Piil Pesenggiri tersebut dengan baik. Kesalahpahaman penafsiran dari
Piil Pesenggiri pun kerap terjadi dalam kegiatan bermasyarakat orang Lampung.
Terlebih kaum muda yang juga cenderung salah tafsir terhadap butir butir Piil
Pesenggiri.
Piil Pesenggiri
yang agung tersebut menjadikan sebuah rasa gengsi yang kemudian dapat
menghambat kemajuan personal. Seseorang yang salah menafsirkan Piil Pesenggiri
sering merasa tidak perlu belajar lebih baik lagi karena merasa gengsi untuk meminta bantuan
atau bertanya pada yang lebih paham akan suatu bidang. Belum lagi ketidakterbukaan seseorang untuk
menerima kritik dan saran membangun dan kesadaran untuk terus memperbaiki diri
karena terjebak dengan pemahaman Piil Pesenggiri yang salah. Piil Pesenggiri yang juga salah arti
menyebabkan seseorang menjadi pongah dan malas. Ada kecenderungan merasa gengsi
untuk belajar dan bekerja keras dalam bidang bidang yang dianggap tidak pantas.
Terlanjur bergaya mewah sehingga merasa gengsi jika tampil sederhana. Berdasarkan
diskusi saya dengan pak Amrin Ayub mengindikasi bahwa ada sebagian pemahaman
masyarakat Lampung yang keliru antara definisi butir butir dalam konsep Piil
Pesenggiri dengan kata ‘gengsi’. Semoga pihak pihak yang kerap mengatasnamakan
Piil dapat membedakan mana arti Piil yang sebenarnya dan mana yang hanya
sekedar gengsi.