Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Kamis, 15 Januari 2015

SUATU PAGI DI GUNUNG SARI



Pemukiman Penduduk di Gunung Sari dari Kejauhan




Sebagai bagian dari penduduk perkotaan terkadang merasa bosan dengan ritme pekerjaan yang cenderung monoton. Aktivitas rutin dari pagi hingga sore pada hari dan jam kerja  yang terkadang membawa pada titik jemu.  Ingin rasanya ‘melarikan diri’ sejenak kesebuah kawasan yang tak pernah saya kunjungi sebelumnya.

Hari masih pagi kala itu. Pukul 08.30 WIB. Setelah absen dan izin untuk keluar sejenak diperkenankan atasan,  saya langsung berniat untuk me-rileksasi diri kesebuah perbukitan yang selalu saya lewati setiap hari kala berangkat kantor tetapi belum pernah saya datangi langsung.

Gunung Sari. Sebuah kawasan yang padat penduduk di Kota Bandar Lampung.
Gunung Sari adalah pemukiman  warga yang benar benar berada di atas gunung. Sejak jaman kolonial Belanda kawasan ini telah ada. Bermula dari beberapa rumah di bagian lereng, hingga ke bagian badan sampai puncak gunung kini dipadati oleh rumah rumah penduduk.

 
Gang Taqwa - salah satu akses masuk menuju Puncak Gunung Sari

Kondisi jalan di bagian lereng Gunung Sari

Contoh Jalan undakan pejalan kaki bersanding dengan Jalan untuk Motor Warga

Undakan tangga menuju bagian Puncak Gunung Sari


Pagi itu saya masuk ke pemukiman Gunung Sari yang merupakan sebuah kelurahan dalam kecamatan Enggal melalui gang Taqwa persis di samping masjid Taqwa. Sebenarnya ada banyak jalan sebagai akses masuk ke bagian atas Gunung Sari selain gang Taqwa. Dengan gang sempit berundak dan jalan setapak, saya menuju bagian atas dari Gunung Sari. Terlihat beberapa warga memarkirkan kendaraan bermotor di bagian rumah di bagian bawah dari kawasan Gunung Sari, atau memarkirkan begitu saja di pinggir jalan. Karena akses kendaraan tidak sampai puncak dan tak semua rumah memiliki halaman.  Di bagian bawah dari kawasan Gunung Sari adalah wilayah ramai dan padat aktivitas. Karena berdekatan dengan Stasiun Kereta Api Tanjungkarang, bangunan pusat perbelanjaan Ramayana dan pasar tengah, Masjid Taqwa, Gereja, Plaza Pos, Bambu Kuning Square, hingga  ragam Losmen dan penginapan murah dan jenis pertokoan lainnya.

 
Rapatnya hunian warga terlihat dari bagian tengah Gunung Sari

Ibu Damila dan aktivitasnya

Pak Loso dan ayam ayam kecil peliharaannya

View yang saya dapat dari pekerangan sempit rumah Ibu Damila dan Pak Loso


Menaiki anak tangga yang banyak membawa saya melalui rumah rumah berukuran kecil dan saling bersinggungan satu sama lain. Beragam aktivitas warga di pagi hari mudah sekali saya simak saat menaiki anak tangga. Terlihat ibu ibu dengan aktivitas mencuci pakaian hingga masak. Semakin berada di bagian atas saya semakin tertarik melihat dari dekat ragam kegiatan warga kala pagi.

Saya putuskan menghentikan langkah di sebuah warung yang masih menyisakan beberapa panganan khas sarapan pagi setelah lelah menaiki anak tangga.

“Silakan mas. Tapi tinggal nasi uduk.” ujar ibu tua penjaja hidangan sarapan dengan senyum ramah menyambut saya yang menghentikan langkah tepat di depan dagangannya.
Sesaat saya iba melihat sang ibu. Ia masih berjualan dalam kondisi yang cukup renta.
“ sekalian buatkan Kopi ya Bu ?” pinta saya.
“ oh,  ia, … sebentar ya …” ujar ibu tua merapihkan beberapa piring.

Ada sosok bapak tua di depan saya. Sesekali ia tersenyum. Sambil menebar gabah kering pada ayam peliharaannya.
“ Ayam nya banyak ya Pak..? ucap saya berbasa-basi ke arah bapak.
Si Bapak tertawa cukup lebar. Tak ada satu pun gigi terlihat.
“ Ayam Ayam ini bapak jual ?. Tanya saya kembali sambil mendekatkan badan kearah si bapak Tua.
“Mas, Bapak tak mendengar apa apa mas.” Ujar Ibu tua menghampiri saya dengan secangkir kopi panas yang baru di seduh.
“ Suami saya sudah gak bisa denger apa apa mas. Tuli.!” Ucap si Ibu Tua dekat kearah saya.
Saya hanya menyeringai, tersenyum pahit sembari menatap lekat kearah bapak tua yang asik dengan ayam ayam peliharaannya.
“ Ibu Bapak, punya putra putri ?”  Tanya saya.
“ Anak kami ada 10 mas, tapi sekarang sudah tidak tinggal di sini….” Ibu Tua menatap suaminya. Ada setitik air menggenang di sudut mata si Ibu.
Tak berani saya bertanya lebih lanjut. Sampai si Ibu berkenan melanjutkan sendiri kisahnya.

Damila.
Demikian nama Ibu tua yang setiap pagi berjualan nasi uduk dan berlanjut menampi beras pada siang hingga sore. Begitulah aktivitas hariannya selain rutinitas mencuci dan memasak serta mengurus suami yang sudah tak lagi mendengar.
Ibu Damila yang merupakan pendatang dari pulau Jawa dinikahi pak Loso yang merupakan pria kelahiran Lampung – di masa resesi pergantian presiden Soekarno ke presiden Soeharto kala itu. Perpindahan Pak Loso dan ibu Damila di Gunung Sari saat itu belumlah seramai kini. Kisaran tahun 1960an Ibu Damila mengenang suasana Gunung Sari yang tidak terlalu padat seperti sekarang. 

Kondisi Rumah Rumah warga di Gunung Sari

Rumah rumah warga yang berdekatan di Guung Sari

Jalan setapak antar rumah warga di Gunung Sari


Dari teras rumah Ibu Damila saya bisa menyaksikan hamparan bukit hijau yang juga ragam bangunan.  Sambil menyeruput kopi, saya menyimak penuturan ibu Damila yang polos.  Saya menangkap betapa ia menikmati hari hari nya sebagai warga di pemukiman Gunung Sari yang sangat padat kini,  meski tak ada satu pun anak yang ia dan suami besarkan tinggal bersamanya. 10 anak yang ia miliki kini pergi merantau keluar kota bahkan yang bungsu bekerja di Malaysia.
Berbincang dengan Ibu Damila dan menyaksikan aktivitas pak Loso membuat saya memahami kekuatan cinta dua sosok tua renta dalam mengarungi kehidupan masa kini.
Setelah cukup lama berbincang, saya kemudian pamit pada ibu Damila dan pak Loso untuk melanjutkan penyusuran bagian lain di puncak Gunung Sari.

Salah Satu Rumah yang di bangun sejak 1970an di kawasan puncak Gunung Sari

Papan Informasi Warga
 
Jalan penghubung antar rumah warga di Gunung Sari

Gunung Sari tak hanya wilayah pemukiman padat penduduk dengan jumlah lebih dari 3.500 jiwa saja. Tetapi juga ribuan kisah menyertainya. Dengan luas wilayah 20 hektare, Gunung Sari bagai sebuah gugusan super padat di tengah perkotaan. Bagian perkotaan yang menyimpan ragam kisah begitupun kehidupan warganya.  Gunung Sari yang juga merupakan bagian lawas dari hiruk pikuk nya masyarakat perkotaan Bandar Lampung yang  terus tumbuh seiring dengan kemajuan jaman menjadikan Gunung Sari semakin padat.  Jenis gunung berbatu hitam yang ditakutkan akan mengalami longsor atau runtuh itupun seolah semakin kokoh dengan menampung banyaknya rumah rumah yang bersebelahan  dengan tipe bangunan acak tak tertata dan pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin banyak.

Losmen Gunung Sari yang Jaya dimasanya

Pintu Losmen


Mengingat sebuah perbincangan dengan rekan rekan di Kedai Kopi beberapa waktu lalu, seorang rekan – Mas Teguh pernah berharap jika saja gugusan rumah rumah yang dianggap sebagain orang kumuh itu di tata kelola apik dengan sentuhan warna warni bukan tidak mungkin dapat jadi daya tarik wisata dan kunjungan napak tilas sejarah kehidupan perkotaan tempo dulu. Layaknya daya tarik rumah rumah padat penduduk di perbukitan di kawasan kawasan Eropa, Gunung Sari tak kalah menariknya. Hingga lelah saya menyisir beberapa bagian dari Gunung Sari pun terhibur oleh keramahan warga yang berpapasan dan yang saya temui sembari melihat bentangan perbukitan di kejauhan dan hamparan rumah penduduk beberapa bagian Bandar Lampung.

Puncak pemikuman Warga di Gunung Sari nampak dari kejauhan (Plaza Pos)


5 komentar :

  1. Si Om ini travel blogger keren banget deh. Eksplorasi kampung saja bisa jadi tulisan menarik

    BalasHapus
  2. hey Mba ku..... kan mba Evi yang ngajari.... aku ini Pemula yang masih belajar pada kalian kalian..... beruntung aku mengenal orang orang yang supports makasih yah genk.!... mba Donna Mb Evi dan Halim dan mas Yopie dan Mas Teguh dan lainnya....heheheheh

    BalasHapus
  3. wah sudut" yang menggida di jelajahi mas amntap abiss dah....

    BalasHapus
  4. t4 gwe maen tuh. .sip bgt critanya.

    BalasHapus
  5. wahhhh....ada losmen itu tuh....😁😛

    BalasHapus

Scroll To Top