Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Selasa, 08 November 2016

MENYIMAK SEJARAH DAN BINCANG BUDAYA HINGGA BERTEMU BUAYA DI PAGARDEWA




 …Lapah jak pagardewa,
   Tiuh toho sai wawai
   Helau sejarah, adat sai agung…


Penggalan lirik dari salah satu lagu klasik Lampung berjudul ‘Tiyuh Pagardewa’ tersebut mengiang di kepala saya. Petikan gitar pengiring lagu pun seolah berpendar dikepala saya dalam perjalanan mengendalikan kemudi menuju tiyuh (desa) Pagardewa.  Oom Rochman menemani  perjalanan saya dari Menggala menuju Pagardewa siang itu.  Dalam perjalanan, ingatan saya seolah memutar kembali rangkaian kenangan yang dulu pernah terjadi. Ketika orang tua saya kerap mengajak serta saya mengunjungi tiyuh Pagardewa saat libur sekolah. Hanya saja, untuk menuju tiyuh Pagardewa, saya dan keluarga kerap menggunakan dermaga kapal di pusat kota Menggala. Itu dulu. Kini, kejayaan dermaga Tulang Bawang yang menjadi akses banyak pedagang hingga saudagar dijamannya itu tinggallah untaian kisah. 

hamparan sungai tenang
 
Tersebutlah – dalam catatan Cina Kuno ; To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang) sebuah kerajaan yang makmur dan berjaya yang disinggahi oleh pejiarah agama Budha bernama F-Hien pada abad ke 4 masehi. Kejayaan kerajaan Tulang Bawang konon sejajar dengan kejayaan kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Meski belum banyak catatan sejarah yang mengemukakan soal kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah bernama Dr. J.W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan Tulang Bawang terletak di hulu sungai (Way) Tulang Bawang – antara Menggala dan Pagardewa, berkisar radius 20 km dari pusat kota Menggala.  
Meski uraian kejayaan   Tulang Bawang  dalam bentuk kerajaan dimasa lalu itu mudah di tuturkan oleh para tetua adat di Tulang Bawang namun cukup sulit untuk ditelusuri dalam bentuk bukti fisik hingga kini.
Selama perjalanan menuju Pagardewa, Oom Rochman bertutur seputar desa kelahirannya tersebut.  Akses jalan raya yang kini lebih mudah di jangkau. Pengembangan jalan yang tersentuh pembangunan nampak terlihat  dari  kondisi jalan yang mulus  selama berkendara. Meski masih ada bagian yang belum diaspal secara keseluruhan. Mobil yang saya kemudikan sampai pada Panemangan sebuah kawasan yang menghubungkan akses menuju Pagardewa. Jalan selanjutnya belumlah diaspal seperti jalan yang telah saya lalui sebelumnya.  Rawa berukuran luas menjadi pemandangan dalam perjalanan desa Pagardewa.

suasana tiyuh Pagardewa

TIYUH TOHO PAGARDEWA
Bangunan Sekolah Dasar sederhana menyambut kedatangan saya dan Oom Rochman ketika memasuki bagian depan desa Pagardewa. Tak nampak oleh saya  aktivitas belajar mengajar. Kedatangan saya dan Oom Rochman pun sudah lewat dari jam makan siang. Rumah – rumah panggung berdiri   pada  kiri dan kanan jalan utama dari desa Pagardewa. “Desa Pagardewa itu cuma satu jalan lurus ini aja.” ucap Oom Rochman menjelaskan. “Selebihnya masih ada yang tinggal di kebun”.jelas Oom Rochman. Saya menikmati sajian aktivitas beberapa warga yang terlihat dari dalam mobil yang saya kendarai.  Wajah – wajah sederhana dengan senyum ramah pedesaan menyambut kami. Oom Rochman mengarahkan saya untuk parkir pada halaman rumah panggung nan luas tak jauh dari sebuah bangunan masjid berukuran kecil. Pandangan saya langsung takjub dengan beberapa bangunan rumah pangung yang kondisi kayunya terlihat lapuk meski masih tegak menopang lantai bangunan. “itu rumah paling tua di desa ini.” ujar Oom Rochman yang menyadari pandangan mata saya. “umur rumah itu sudah lebih dari 200 tahun” sahut seorang pria tua menghampiri saya dan membuat saya sontak kaget melihat wujud pria tua itu sudah ada di samping saya.
“ini Buya Tuah” ucap Oom Rochman mengenalkan saya pada sosok pria tua yang tak saya ketahui darimana datangnya. Saya pun mencium tangan Buya Tuah.  Kulitnya kasar dan legam. Tentulah ia seorang pria pekerja keras.
“Ayoo naik…” ajak Buya Tuah mengarahkan saya dan oom Rochman pada sebuah rumah yang letaknya hanya berselang dua rumah dari rumah panggung yang usianya sudah lebih dari 200 tahun itu.
Mata saya tak henti-hentinya mengagumi setiap bagian dari rumah panggung di desa Pagardewa siang itu. Sungguh sajian  rumah panggung yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Rumah rumah sederhana dari kayu berkualitas prima dengan penataan yang sangat bersahaja.  Dari ruang tamu rumah panggung, mata saya kembali takjub ketika melihat bentangan sungai yang luas memanjang di bagian ujung kawasan desa. Pandangan saya kemudian lekat pada beberapa pria dewasa yang nampak sedang mengemudikan kapal kecil di hamparan sungai.
“wah, sungainya luas…” ucap saya antusias.
“itulah sungai Pagardewa” ucap Buya Tuah.
Saya segera duduk mendekat Buya Tuah. Yakin beliau akan bertutur banyak hal setelah seorang wanita paruh baya dengan senyum menawan menyuguhkan air putih dan toples kue kering di meja tamu. “Pagardewa, satu-satunya tiyuh (desa) yang tidak pernah berhasil di kuasai Belanda saat masa penjajahan…” Buya Tuah mengawali penuturannya. Saya pun menyimak sembari sesekali melihat sekumpulan pria pria dewasa yang nampak selesai berladang.
“Tiyuh Pagardewa inilah yang disebut Tiyuh Toho di Menggala, karena memang desa pertama yang menjadi kedatangan para penyebar agama hindu dan islam dari Banten dulu…” kisah demi kisah terlontar dari Buya Tuah. Sesekali  ia menghisap rokok lintingnya dalam-dalam. Ada helaan nafas panjang setiap jeda kisah yang ia ucapkan. Dalam penuturannya,  terkadang Buya Tuah  mencoba mengingat-ingat beberapa nama tokoh, tempat dan waktu dari setiap peristiwa yang ia uraikan.

rumah yang usianya sudah lebih dari 200 tahun di salah satu sudut dalam tiyuh Pagardewa

suasana beranda rumah tua di tiyuh Pagardewa

bibir sungai yang lengang



 

Saya kemudian senang sekali, ketika Buya Tuah mengizinkan  saya untuk menaiki perahu kayu yang tertambat di bibir sungai.  Hamparan sungai yang panjang dan lengang. Tak ada aktivitas penduduk mewarnai badan sungai.   “antarkan ke seberang saja. Jangan terlalu ke ujung” ujar Buya Tuah pada pria yang mengendalikan perahu kayu bermesin tersebut, ditambah percakapan bahasa Lampung dialek O yang beberapa diantaranya tidak saya pahami. “sekarang sudah modern pakai mesin, dulu pakai dayung,hehehhe” sela Oom Rochman yang berkenan naik kapal bersama saya. “ingat ya, jangan terlalu ke ujung ya!!” teriak Buya Tuah sesaat setelah kapal kayu berjalan.  “si Buya khawatir banget ya, Oom..” ucap saya pada Oom Rochman yang disambut dengan senyum. 



Selama menyusuri sungai, Oom Rochman menuturkan bahwa sungai yang kami susuri adalah Way (sungai) Pagardewa yang merupakan muara pertemuan dari Way Kanan dan Way Kiri yang selanjutnya bermuara di Way Tulang Bawang sampai pada Kuala Teladas. Sungai sungai yang mengitari tanah Tulang Bawang memang telah jadi mata rantai transportasi sejak dahulu. Sebagaimana para saudagar melakukan pencarian hasil bumi dengan kualitas terbaik di Tulang Bawang hingga angkutan umum masyarakat masa lampau yang sebagian besar menggunakan trasportasi sungai. Kini, sungai sungai di kawasan Tulang Bawang praktis hanya berfungsi sebagai lahan mencari ikan bagi sebagian masyarakat saja. 

bentangan sungai yang lengang

“Ayoo cepat, cepat…” ujar pengayuh perahu kayu pada saya dan Oom Rochman sesaat setelah perahu kayu merapat kembali kedaratan. “Cepat ….Cepat..!!!” teriak Buya Tuha dari bibir sungai. Saya pun bergegas meninggalkan kapal kayu dan segera menginjakkan kaki pada bibir dermaga kayu yang menghubungkan tambatan kapal pada daratan. “kenapa sih disuruh cepat cepat?” tanya saya penasaran pada Buya Tuha yang menampakkan ketegangan pada raut mukanya. “ada buaya!” sahut Buya Tuha. “apa!!???. Buaya??!” saya terhentak. “ kamu tidak lihat, tadi  ada buaya mendekati kita” bisik Oom Rochman pada saya yang semakin membuat saya tercekat. “Oom lihat?” tanya saya pada Oom Rochman yang dijawab anggukan.

Buya Tuha (bertopi)
Buya Tuha mengajak saya dan Oom Rochman duduk di beranda rumah kayu dekat bibir sungai. Beberapa rekan Buya Tuha juga tampak disana. “Ada sarang buaya di ujung sungai” ucap salah satu dari pria tua yang duduk dekat Buya Tuha.  Saya pun menyimak penuturan teman teman Buya Tuha tentang buaya di sungai Pagardewa. Konon, buaya buaya tersebut telah jadi penunggu sungai jauh sebelum penduduk ramai menempati kawasan tiyuh Pagardewa. Persembunyian buaya pun terletak persis di bagian ujung sungai Way Pagardewa. Itulah mengapa para penjajah Belanda dahulu tak pernah berhasil menduduki kawasan tiyuh Pagardewa. Buaya di way Pagardewa selalu menggagalkan usaha penjajah merambah bagian tiyuh Pagardewa yang letaknya diapit oleh Way Kiri dan Way Kanan. Saya pun jadi mengerti mengapa suasana sepanjang sungai begitu lengang tak banyak aktivitas sungai seperti di pusat kota Menggala.

suasana lengang tiyuh Pagardewa

Cukup lama saya menyimak uraian kisah dari para sosok tua yang telah lama mendiami tiyuh Pagardewa. Buya Tuha dan rekan rekannya menyuguhkan ragam kisah yang sangat berharga untuk saya ketahui termasuk silsilah para pejuang yang dahulu mendiami Pagardewa hingga memperluas ajaran ajaran islam di Tulang Bawang yang sebelumnya banyak di diami oleh tokoh tokoh agama Budha.  Tak hanya sekedar menyimak untaian kisah, saya pun diajak oleh Oom Rochman mendatangi makam makam para pejuang dan juga tokoh yang dahulu mendiami tiyuh Pagardewa. Seperti makam pahlawan islam – Haji Pejurit – gelar Minak Kemala Bumi yang  melakukan perjuangan diabad 14 dan wafat di awal abad ke 16 hingga makam keramat Rio Mangku Bumi yang merupakan pejuang Tulang Bawang termahsyur sejak abad ke 4 dan meninggal di penghujung abad ke 5. 



 
Usai menyambangi makam makam keramat termasuk menyimak ragam kisah sejarah saya dan Oom Rochman pun bertolak kembali ke Menggala. Sungguh pengalaman berharga telah saya dapatkan dari kunjungan sepanjang siang di tuyuh Pagardewa. Tak hanya sekedar mendatangi langsung tanah leluhur orang tua tetapi juga  mendapat sajian kisah mengandung sejarah tiyuh Pagardewa hingga budaya masyarakat Pagardewa yang masih berpegang teguh pada adat istiadat dan norma norma kehidupan Lampung nan agung. Jikapun mengalami kejadian nyaris disapa buaya di sungai Way Pagardewa, saya justru menganggap hal tersebut sebagai bagian  dari perjalanan seru dari sebuah kunjungan ke kampung (tiyuh) tua (toho) Pagardewa. Suatu hari saya ingin kembali bertandang ke Pagardewa dengan merasakan bermalam di rumah  Buya Tuha hingga terlibat langsung dalam aktivitas keseharian warga tiyuh Pagardewa. Semoga.

2 komentar :

  1. Ajak aku kemari kakak...
    Pingin banget lihat sungai dan suasana rumah2 tua di sana.

    BalasHapus
  2. mantab...terima kasih informasi videonya kami berada di aliran hulu way kirinya tepatnya di marga bunga mayang sungkai...

    BalasHapus

Scroll To Top