Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Rabu, 01 Agustus 2018

PESONA SAWINGGRAI, DESA WISATA DAN RUMAH CENDRAWASIH





Senja segera beranjak, ketika saya dan rekan-rekan relawan dan panitia lokal Kelas Inspirasi Raja Ampat 1 tiba di desa Sawinggrai.  Gugusan pulau Sawinggrai telah memesona mata saya jauh sebelum kapal yang kami tumpangi merapat ke dermaga. Terlebih terlihat pelangi ganda dari kejauhan saat kami tiba di dermaga desa Sawinggrai. Suasana asri langsung terasa kala pertama menginjakkan kaki di bagian depan desa Sawinggrai.

Bibir pantai desa Sawinggrai yang landai dan asri


Selama dalam pelayaran dari Waisai ke Yenbuba, jelang briefing Kelas Inspirasi, Maya – selaku Panitia Lokal yang mendampingi kami di desa Sawinggrai menuturkan  beberapa hal berkenaan dengan desa Sawinggrai pada saya. Jelang kedatangan ke Raja Ampat, saya tidak melakukan pencarian informasi apapun soal desa Sawinggrai. Hal tersebut telah jadi budaya personal saya.  Karena terkadang, jadi orang yang tak banyak tahu itu justru menguntungkan. Salah satunya adalah tidak ber-ekspektasi tinggi terhadap tempat tujuan. Just enjoy every single moment aja!.

Sebagai panitia lokal yang mendampingi kami, Maya, langsung mengarahkan kami ke sebuah rumah warga yang kelak akan kami gunakan untuk tempat bermalam. Usai menata barang bawaan di dalam rumah Mama Okta, kak Amir dan beberapa rekan mengusulkan untuk menghabiskan waktu sore di dermaga. “kali aja bisa liat sunset”, ucap beberapa rekan. Meski awan hitam  nampak menggantung.  Untuk sebuah kebersamaan, tentu saja saya dan rekan-rekan menyambut gembira ajakan untuk bersantai di dermaga. Terlebih kak Amir berniat menyeduh kopi di dermaga lengkap dengan perkakas penyeduh kopi yang ia bawa. Aaahh.. sungguh bahagianya sore itu. Suasana sore yang tenang di tepi dermaga. Pesisir pantai nan landai semakin kontras dengan gumpalan awan menghitam. Beberapa anak desa Sawinggrai lekas akrab kala menghampiri kami di dermaga sore itu.  Terlebih mereka telah mengenal Maya yang tak asing lagi.  Sebagai mojang Bandung yang  merantau ke Raja Ampat, Maya telah mengajar sukarela di beberapa pulau di Raja Ampat sejak 3 tahun terakhir.  Sungguh upaya yang mengagumkan dari sosok Maya.


piawainya kak Amir meracik kopi sore itu

kak Arief dan mba Okta yang ikut bercengkrama dengan anak anak desa Sawinggrai
 

Meski  cahaya senja kala itu tak sesuai harapan, tapi kebersamaan kami dengan anak-anak desa Sawinggrai adalah sesuatu yang berharga. Termasuk kopi racikan kak Amir yang terasa istimewa.  Sungkan rasanya meninggalkan dermaga meski suasana beranjak gelap dan rintik hujan mulai menghias hingga kemudian hujan datang dengan deras. Alhasil, suasana malam kami gunakan untuk berdiskusi, memantapkan rencana bertemu adik adik SD Sawinggrai esok hari.  Tapi ada satu yang menyemangati untuk bangun pagi ; Melihat Cendrawasih!.

 
priceless moment

LARANGAN BICARA DAN MERDUNYA SUARA BURUNG CENDRAWASIH

Desa Sawinggrai yang terletak di distrik Meos Mansar, kabupaten Raja Ampat, merupakan salah satu desa wisata dalam kawasan Raja Ampat. Selain dihuni oleh 60 kepala keluarga, dalam kawasan desa Sawinggrai juga terdapat homestay dengan harga terjangkau. Yang menarik, dalam desa Sawinggrai terdapat anggrek khas Papua dan habitat burung Cendrawasih. Tak heran bila kemudian burung Cendrawasih menjadi ikon dari desa Sawinggrai. Konon, dalam kawasan hutan di pulau Sawinggrai terdapat empat spesies Cendrawasih, yakni Cendrawasih Merah, Cendrawasih Belah Rotan, Cendrawasih Kecil dan Cendrawasih Besar.  Semalam, Maya telah mengatur rencana kunjungan kami melihat Cendrawasih dengan menghubungi sang pemandu yang juga merupakan tokoh adat desa Sawinggrai.  Pak Yesaya Mayor namanya. Menurut pak pemandu, pukul 6-8 pagi dan 4-6 sore adalah waktu yang tepat untuk melihat wujud Cendrawasih.

Pukul 4.30 pagi kami bergegas meninggalkan rumah dan menuju lokasi dimana kami akan melihat burung Cendrawasih. Seperti anggota pramuka yang hendak cari jejak di pagi buta. Setiap kami dengan sigap menyiapkan diri.   Melangkahkah kaki sembari tersungut-sungut dan memastikan mata telah terbuka. Untuk menyaksikan wujud burung Cendrawasih, pengunjung wajib membayar  150 ribu rupiah per orang, melalui Maya kami dapat potongan harga. Maka setiap kami membayar sebesar 125 ribu per orang. Baiklah. Supaya tak mati penasaran dengan wujud Cendrawasih, saya ikut saja!.

Wajah pak Pemandu
 
Rombongan kami sempat berhenti sejenak di depan kediaman sang pemandu. Ternyata bukan hanya rombongan kami. Terdapat beberapa orang turis asing yang juga akan bersama-sama dengan kami menuju lokasi burung Cendrawasih.  Usai saling sapa ala kadarnya, kami pun dengan cekatan mengikuti langkah sang pemandu.
Tak lupa, sang pemandu mengingatkan kami untuk tidak berbincang mengeluarkan suara selama perjalanan, juga tidak diperkenankan menyalakan ponsel karena suara yang gaduh dan sinar dari ponsel akan membuat Cendrawasih enggan datang. Fix, itu artinya saya harus berdiam. Tidak bersuara sama sekali dalam aktivitas ini termasuk bergumam apalagi bernyanyi-nyanyi segala genre lagu. Oke sanggup!.


Kami melangkah menyusuri jalan setapak. Melalui belakang hunian warga, areal perkebunan hingga menerabas hutan belukar.  Menurut informasi, butuh waktu sekitar 40 menit hingga 1 jam berjalan kaki. Saya pribadi sangat bersemangat mengikuti langkah pemandu yang tepat berada di depan saya. Para turis asing berada di depan pemandu. Di belakang saya ada kak Kent – sang Pilot, dan rekan-rekan lain yang berjalan beriringan.

Selang belasan menit, langkah kaki terasa menanjak. Mengikuti alur perbukitan terjal bebatuan. Di beberapa bagian terasa akar-akar pohon yang mencengkram kuat di bebatuan. “kenapa sih, akar-akar ini pada keluar begini ?”, tanya saya ketika beberapa kali pijakan kaki terhalang akar-akar yang berada di permukaan bebatuan. “Diam!!!. Jangan bersuara, Cendrawasih tidak datang nanti!” pak Pemandu berujar dan membelalak kearah saya. Sontak saya kaget. Padahal maksud hati cuma mau bergumam untuk diri sendiri. Tapi memang volume gumaman saya tergolong keras untuk kondisi hutan yang senyap pagi itu.  Untuk ukuran saya, emang PR banget rasanya berdiam diri. Semua dilakoni demi melihat wujud Cendrawasih!.  

wajah wajah mengharap kedatangan Cendrawasih - photo by kang Ahmad
 

Usai rute menanjak, pemandu memberi isyarat berhenti pada kami. Suasana hening. Tak ada yang berbincang diantara kami. Meski terdengar bisik-bisik satu sama lain. Aneh nya si pemandu tidak melarang ketika para bule’ bule’ itu melakukan semacam diskusi. Hhmm… bisa jadi pemandunya tak bisa menghardik dalam bahasa inggris kali yaa… bisa jadi!.  Saya dan rombongan semakin antusias ketika suara suara yang di yakini pemandu sebagai suara Cendrawasih semakin mendekat. Satu persatu wajah kami nampak antusias. Kak Arief sempat melangkah maju untuk merekam suara Cendrawasih. Para bule bule juga mulai bersiap dengan kamera dan lensa laras panjang yang bikin down kami yang hanya bermodal kamera moroles dan kamera ponsel.

melenggang pulang usai melihat sekelebat wujud Cendrawasih - photo by Heydar


Penantian panjang pun berakhir dengan wujud Cendrawasih yang datang hinggap di dahan pohon. Sesaat ia terlihat menoleh kiri dan kanan sebelum akhirnya bergerak lincah dan pindah arah. Terlihat jelas bulu merahnya mengibas sebelum ia menghilang dari pandangan.  Saya dan rekan rekan berpandangan …” gitu doang?” tanya saya pada rekan-rekan dikiri dan kanan. “siapa tau datang lagi yang lain”, sahut rekan.  Kami pun mulai mendongak. Berharap ada Cendrawasih beraksi. Menari-nari bagai tayangan di Youtube. Meski kemudian harapan kami tak terjadi. Sementara diantara kami mulai mengingatkan kewajiban mengajar di SD Sawinggrai. Jelang pukul 7 pagi. Cendrawasih pun tak lagi mendatangi kami. Bisa jadi ia tahu kami ramai sekali.  Sang pemandu mengarahkan kami ke posisi lain yang juga merupakan titik pandang Cendrawasih. Meski saya dan beberapa rekan sempat mencoba tapi kemudian kami sepakat untuk kembali ke rumah karena harus bersiap untuk gelaran Kelas Inspirasi.

Wujud seekor Cendrawasih cukuplah menghibur saya pagi itu. Dengan usaha bangun super pagi, berjalan menyusuri hutan di pagi buta, di hardik pemandu karena sempat berucap dalam perjalanan. Berharap menyaksikan banyak Cendrawasih menari-nari. Setidaknya, memori saya merekam jelas celoteh merdu Cendrawasih. Entah apa maknanya, tapi paling tidak, siapapun yang tidak sempat bertemu Cendrawasih nantinya, akan saya beri tahu suaranya dahulu ; uwuk..uwuk..uwuk…
 

2 komentar :

  1. Waaa seru banget melihat Cendrawasih di habitat aslinya. Semoga saya pun suatu saat bisa melihat dengan mata kepala sendiri.. kalau lihat di Youtube cantik banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. banged ..mbaaa..kece tu Cendrawasih, meski cuma lihat 1 tapi setidaknya udah liat langsung di habitatnya.

      Hapus

Scroll To Top