Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Senin, 04 Maret 2019

MELIHAT JEJAK BADAK, PERTAPAAN MISTIS DAN SARANG BUAYA DI UJUNG KULON



“Kita bakal ke Ujung Kulon!.” jelas mba Tati singkat saat saya tanya soal lokasi kunjungan. “Tepatnya, kita ke desa yang paling dekat dengan kawasan Ujung Kulon” sambung mba Tati  menenangkan. “Berarti kita bisa photo di tugu yang ada  badaknya itu kan, mba?!” tanya saya penasaran. “Tenang, kita akan cari itu tugu. Kalo gak ketemu tugunya, kita buat sendiri lah, hihihi.” Emang mba Tati suka melucu yang tak lucu, hhmm.
Yup, soal bentuk tugu dengan wujud badak di bagian atasnya itu adalah sesuatu yang iconic.  Bentuk tugu yang pernah saya lihat di buku sejarah dan yang paling mewakili ingatan saya akan kawasan Ujung Kulon. Jadi tak heran bila saya sangat berharap bisa mengabadikan diri di tugu berhias wujud badak bertuliskan kalimat ‘Selamat Datang, Welcome To … Ujung Kulon’. 

Bentuk Tugu yang layak di perbaiki termasuk kondisi jalan yang aduhai
  
Maka tak heran bila saya bahkan nyaris seluruh rekan dalam rombongan begitu bahagia mengabadikan diri di tugu berwujud sederhana dengan sosok badak di bagian atas yang kami temui di sebuah kawasan yang menandai bagian muka dari kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Hilanglah gerutu saya soal jauhnya jarak yang wajib kami lalui untuk tiba di bagian depan dari kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Butuh lebih dari 7  jam perjalanan dari Cilegon untuk singgah ke beberapa kawasan pelaksanaan kegiatan sebelum kemudian bermalam di desa Pendey dan kembali menempuh lebih dari 1 jam untuk tiba di tugu badak bertuliskan selamat datang tersebut.

all Genks
 
MENGENAL  TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Sebagai bonus bersenang-senang usai kegiatan sosial, satu persatu kami berphoto dengan tugu yang nampak usang tersebut.   Sebagai penanda sebuah kawasan, bentuk tugu sungguh butuh perbaikan. Bentuk lampau nan sederhana dengan kondisi yang terlihat keropos di beberapa bagian di tambah bentuk tulisan yang tidak lagi bersandar kokoh. Beberapa huruf tampak hanya berupa sapuan warna cat yang di pulas seadanya. Padahal, berphoto di tugu sederhana tersebut bagai menjadi penggenap kunjungan di kawasan Ujung Kulon. Meski  sebenarnya hal tersebut hanya berupa perkenalan saja.

Tepat beberapa langkah dari posisi tugu terdapat sebuah bangunan. Mulanya,  saya menduga bangunan berbentuk rumah panggung tersebut adalah sebuah penginapan. Ternyata dugaan saya salah. Bangunan tersebut merupakan salah satu pos penjagaan yang memuat beberapa informasi penunjang yang dapat di manfaatkan pengunjung untuk mengetahui lebih banyak seputar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.
Dalam bahasa Sunda, Kulon berarti Barat. Jadi Ujung Kulon bermakna kawasan yang terletak di ujung bagian barat dari pulau Jawa. Begitu jelas seorang petugas saat saya tanyai soal nama Ujung Kulon dan sejarahnya.  Dahulu, Ujung Kulon masuk dalam teritori Jawa Barat sebelum menjadi bagian provinsi Banten. Bahkan gunung Krakatau dan beberapa pulau di sekitarnya dahulu sempat masuk  dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.  Masyarakat yang tinggal di desa-desa dekat kawasan Ujung Kulon hidup makmur sebelum bencana meletusnya gunung Krakatau yang menghancurkan pemukiman dan kemudian berwujud hutan belantara yang kini menjadi bagian dari  hutan lindung dalam Taman Nasional Ujung Kulon.

Petugas pada pos penjagaan tersebut sempat menjelaskan gambar peta dari kawasan Taman Nasional Ujung Kulon pada saya.  Peta yang terpajang di dinding ruang depan tersebut memuat informasi secara gamblang akan luas kawasan TNUK yang mencapai 122.956 hektar dengan 443 kilometer persegi nya adalah kawasan laut yang terbentang dari semenanjung Ujung Kulon hingga Samudera Hindia. Melihat luas kawasan TNUK pada peta yang terpajang tersebut membuat saya berdecak kagum akan kekayaan hayati yang nusantara miliki hanya dari letak Taman Nasional Ujung Kulon. Beragam habitat flora dan fauna berada dalam Taman Nasional Ujung Kulon meski jumlah badak bercula satu  yang berada dalam TNUK  kini hanya sekitar 60 badak saja. 

Genks di atas Kap Mobil
 
NAPAK TILAS JEJAK BADAK DI JALAN CADAS

…”di bagian dalam ada juga pos penjagaan khusus memantau gerak gerik badak termasuk ada penginapan bagi pengunjung.” ujar Tomi pada saya usai saya mengagumi luas kawasan TNUK pada peta yang terpajang. “Oh, ya?!” sahut saya datar.
Sejujurnya, nyali saya mendadak ciut ketika mendapati fakta bahwa untuk menghampiri letak habitat badak dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon itu butuh berjalan kaki berhari-hari. Itu pun bukan jaminan bisa menatap langsung wujud badak. Luluhlah semangat saya yang tadinya berfikir bahwa dapat melihat langsung wujud badak hanya dengan menghampiri pos penjagaan usai berphoto di tugu yang ada wujud badaknya. Hah!.

Saya pun memutuskan untuk santai bersama rekan-rekan pria ketika Tomi mengajak serta rekan-rekan wanita menaiki mobil Land Rover Series-nya ke bagian dalam seperti yang ia maksudkan pada saya.
…”mereka kira enak naek mobil itu ke bagian dalam dengan kondisi jalan rusak!. Hah!.” cibir saya pada rombongan wanita yang lebih dulu di angkut Tomi lengkap dengan ekspresi ala Leli Sagita. Terbukti, tak lama dari saya berucap, jeritan keras rekan wanita terdengar jelas. Nah!, dapat saya pastikan para wanita itu berpuntal-puntal dalam bak mobil dengan badan jalan yang berlubang. Rasakan!!!. 

pos bagian dalam dimana kami bertemu mas Rifky dan pak Rahman

  Saya masih menikmati kebersamaan dengan rekan-rekan pria di beranda pos penjagaan yang tak jauh dari letak tugu badak dimana kami asik berphoto puluhan menit sebelumnya.  Hingga berselang puluhan menit kemudian Tomi menghampiri kami. “Yok!, di ajak rombongan cewek ke hutan Mangrove!” ajak Tomi.   Wah, hutan mangrove!. Terdengar menarik. Saya dan rekan-rekan pun beranjak menaiki mobil Land Rover Series miliknya Tomi yang telah berjasa mengangkut segala barang bantuan sejak dari Jakarta hingga ke beberapa lokasi kunjungan. Kami pun mengatur posisi di mobil cadasnya Tomi tersebut. Sebagian berada di dalam bak. Sebagian lagi, termasuk saya berada di bagian atas kap mobil. “Siap siap nih!, bakal seru duduk di kap mobil dengan badan jalan yang cadas!” ucap mas Zul. Saya sih  siap  saja. Meski deg-deg-an juga hahahah. Anggap saja sedang uji nyali.

Kenyataan menuju bagian dalam seperti yang Tomi maksud  memang tak berbeda jauh dari yang saya bayangkan. Badan jalan berlubang dan becek berlumpur membuat suasana semakin seru. Sepanjang jalan saya tak henti menjerit histeris kala mobil melalui medan jalan nan aduhai. Kami sempat melalui letak pos Legon Pakis yang menurut Tomi banyak di gunakan sebagai tempat bermalam para pengunjung yang melakukan tracking menyusuri kawasan TNUK.  Untungnya, aksi beringksak  saya dan rekan-rekan bersama mobil yang di kemudikan Tomi di jalan cadas berakhir di sebuah pos bangunan sederhana dengan halaman nan asri.



sorak bahagia usai berpuntal-puntal berkendara
 
mas Rifky memimpin tracking
 
TANDANG KE PERTAPAAN DAN  BAHAGIA DI SARANG BUAYA

Kami bertemu dengan mas Rifky dan pak Rahman yang bertugas menjaga pos yang konon berfungsi sebagai pemantau aktivitas badak dalam TNUK. Usai perkenalan dan berbincang sejenak, mas Rifky berkenan memandu kami menyusuri hutan untuk menuju kawasan hutan mangrove yang di maksud. Meski perdana mengetahui kawasan tersebut, saya langsung jatuh hati.  Sesekali saya mengendus aroma khas hutan hujan tropis  Indonesia saat melangkah dalam belantara. Beragam tumbuhan menghias di sepanjang jalan setapak yang kami lalui.   Saya pun takjub ketika mas Rifky menuturkan bahwa jalan setapak yang kami lalui adalah jejak badak. “tapi dulu mas, sekarang badak-badak nggak di sekitar kawasan ini, harus berhari-hari tracking ke bagian dalam” tunjuk mas Rifky ke arah hutan.

Mata saya melihat sebuah batu diantara pepohonan rindang kala rombongan kami sedang menyusuri jalan menuju letak hutan mangrove.    Bebatuan  menyerupai  dinding besar  tersebut  memiliki celah seperti sebuah pintu menuju ruangan di bagian dalamnya. “itu goa?” tanya saya pada mas Rifky.  “Tempat napak tilas. Beberapa peziarah sering datang dan menjadikannya tempat pertapaan” ujar mas Rifky lugas.  Seketika saya takjub mendengar kata pertapaan sekaligus bergidik!. Seolah tempat mistis. “Mau masuk boleh kok”  ucap mas Rifky pada saya. “Kalo sendirian saya takut.” Jawab saya. “ Pada mau masuk gak?” ajak saya pada rekan lain. Jiwa penakut saya pun mucul!, hahaha. Beruntung, rekan-rekan lain berkenan masuk kebagain dalam.  Wujudnya ternyata bukan sebuah goa. Hanya batu besar yang membentuk sebuah ruangan pada bagian dalamnya. Yang menarik bahkan membuat saya semakin bergidik adalah kala mendapati 3 buah makam yang bentuknya terpelihara dengan baik di balik bebatuan tersebut. Terlihat kain putuh yang membungkus dan terurus baik pada bagian nisan. Lokasi sekitar makam pun tergolong bersih dan terawat dengan baik. Terlihat sebagai lokasi pertapaan seperti yang di maksud mas Rifky. Saya pun tak berminat bertanya banyak pada mas Rifky. Bahkan saat berada dekat dengan letak makam pun saya mengunci mulut rapat-rapat termasuk menghilangkan fikiran yang macam-macam.

tampak depan dari bebatuan yang membentuk ruangan ke bagian dalam

3 makam keramat lokasi pertapaan dan kunjungan para peziarah

Kami bergegas melanjutkan perjalanan  menuju letak hutan mangrove usai memuaskan hasrat penarasan akan wujud makam yang terletak di balik bebatuan.   Garis pantai yang bersinggungan dengan jalan setapak yang kami susuri menambah suasana seru kebersamaan siang itu. Semakin seru ketika kami melihat sebuah jembatan yang membentang diantara muara yang di tumbuhi oleh pepohonan mangrove.  Meski kondisi jembatan terbilang usang, cukuplah memuaskan bahagia kami yang telah memulai berjalan kaki menyusuri hutan dengan harapan mendapati sesuatu yang menyenangkan untuk di abadikan.  Mas Anton pun berinisiatif mengabadikan moment kebersamaan kami  di badan jembatan sembari terlentang dan di shooting dengan drone. Meski senang, fikiran saya mendadak cemas ketika mas Rifky menuturkan bahwa area muara di sekitar jembatan adalah sarang buaya.  “ini wujud buayanya” ucap mas Rifky menunjukkan hasil bidikan kamera ponselnya pada saya dan beberapa rekan.  Meski cemas dan tahu area muara dimana kami mengabadikan kebersamaan adalah sarang buaya, tetap saja kami mengabadikan moment photo berkali-kali hingga sempat menyambangi pasir timbul yang letaknya tak jauh dari area muara dan pepohonan mangrove.
indahnya muara, pasir pantai dan bentangan samudera.
  
jembatan usang di antara pepohonan mangrove dan muara sarang buaya

Menatap bentangan hutan, muara dan samudera hingga menyadari diri berada di titik Ujung Kulon seolah berkah tersendiri bagi saya. Hari itu, 24 Februari tepat ulang tahun saya. Tak pernah terbersit bahwa suatu hari akan menikmati masa bertambahnya usia di Ujung Kulon. Memaknai pertambahan usia dalam keindahan alam anugerah Pencipta dan rekan-rekan dengan keindahan jiwa.  Beruntungnya saya. Tak salah bila anak anak kampung Cimenteng – desa Taman Jaya menghadiahi saya sebuah do’a ; “… panjang umurnya sekarang juga, sekarang juga…”.

1 komentar :

Scroll To Top