Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Rabu, 06 Maret 2019

WAY BEKHAK KINI, BAGAI GADIS TAK BERSOLEK.



Kendaraan yang saya tumpangi melaju masuk ke sebuah jalan yang bersinggungan dengan hunian warga.  Sebuah gapura bertuliskan ‘Taman Pemandian Way Bekhak’ menyambut kehadiran saya dan rekan-rekan siang itu. Yup, saya tak sendiri. Ada lebih dari 10 orang rekan kantor yang turut bersama-sama mengunjungi Taman Pemandian Way Bekhak. Rehat sejenak di sela padatnya aktivitas kantor adalah tujuan kami siang itu. Piknik sederhana judulnya.
 
salah satu warga memanfaatkan aliran air Way Bekhak


Meski mengetahui Taman Pemandian Way Bekhak sejak dulu, bahkan sempat melihat beberapa photo aktivitas teman-teman kala berada di pemandian Way Bekhak,  tapi siang itu adalah kali pertama saya tandang langsung.  Butuh waktu tempuh 1 jam 30 menit dari kota Bandarlampung untuk tiba di Taman Pemandian Way Bekhak yang berada di pekon (desa) Sukaraja, kecamatan Gunung Alif – kabupaten Tanggamus, Lampung.  Persisinya, tak jauh dari letak pasar Talang Padang, pengujung akan menemukan gapura bertuliskan ‘Taman Pemandian Way Bekhak’ di sebelah kanan. Sekitar 300 meter masuk ke bagian dalam dari jarak gapura, saya dan rekan-rekan parkir di halaman yang berdekatan dengan pekarangan warga. Kami di wajibkan membayar sebesar Rp.5.000 per orang termasuk Rp.10.000 untuk satu buah mobil.  Harga yang tergolong tinggi untuk sebuah kawasan pemandian sederhana, gumam saya kala itu.

kolam pemandian Way Bekhak

Saya dan rekan-rekan kemudian berjalan sekitar 200 meter ke letak kolam pemandian sembari membawa beberapa bekal makan bersama yang akan kami gelar nantinya. Suasana alami dan sejuk sungguh terasa saat melangkahkan kaki ke arah  kolam pemandian. Beberapa warga terlihat memanfaatkan aliran air pada bentangan irigasi di sekitar kawasan kolam pemandian. Menurut pak Rahmat, salah satu warga yang sempat saya ajak berbincang di dekat areal persawahan mengungkapkan bahwa Way Bekhak merupakan aliran air yang berasal dari sumber  mata  air di puncak gunung Alif yang tak pernah berhenti mengalir meski saat musim kemarau sekalipun. Tak heran bila areal sawah di sekitar letak kolam pemandian Way Bekhak begitu asri. “Waktu saya pindah ke sini tahun 95, kolam pemandian Way Bekhak sudah digunakan warga sekitar sini.” ujar pak Rahmat ketika saya tanyai seputar sejarah pemandian Way Bekhak yang hingga kini kerap ramai bila akhir pekan.  Masih menurut pak Rahmat, aliran Way Bekhak tak hanya di manfaatkan warga sebagai sumber air tetapi juga untuk mengaliri luasnya areal persawahan warga. Sesuai makna dalam bahasa Lampung, Way berarti air dan Bekhak berarti luas.


suasana kolam pemandian
 
KEINDAHAN YANG BUTUH PERAWATAN

Sumber air yang mengalir ke bagian kolam sungguh menarik untuk di simak. Berasal dari ketinggian melalui ceruk dan  sela celah akar pepohonan rindang di sekitarnya. Bongkah bebatuan menghias kawasan kolam.  Meski sederhana, bentuk kolam tergolong luas. Sebagian dari dinding kolam terlihat rusak. Beberapa rekan kantor telah lebih dulu menceburkan diri ke tengah kolam yang ternyata tidak terlalu dalam. Saya merasa miris ketika melihat pondok dan ruang bilas umum bagi pengunjung tak lagi terawat sebagaimana sebuah fasilitas kunjungan wisata. Terlihat usang dan beberapa kayu nampak patah. Tak ada lagi perawatan terhadap kawasan ini. Yang membuat semakin miris adalah tidak adanya pengelolaan sampah dalam kawasan  taman pemandian. Terlihat tumpukan sampah pada beberapa titik lokasi. Beberapa tumpukan sampah menggenang  di aliran air yang mengarah ke letak persawahan.  

kawasan yang perlu sentuhan dan penataan ulang agar lebih cantik
jernihnya air kolam pemandian Way Bekhak
  
“dulunya tempat ini rapih, mas” ucap pak Rahmat  yang sebelumnya sempat  saya tanyai seputar bentuk pondokan kayu yang  terlihat usang tak terawat.
Begitulah kisah klasik dari objek wisata.  Segalanya tertata ketika di kenalkan perdana. Kemudian tak lagi ada sentuhan perawatan hingga kesadaran baik dari pengelola maupun pengunjung untuk merawat kebersihan lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.  Jika saja uang  masuk pengunjung di kumpulkan untuk peremajaan lokasi wisata tentu akan terlihat lebih tertata dengan baik.  Seperti seorang gadis yang menyisihkan uang jajan dari orang tua untuk kelak melakukan perawatan agar selalu tampak cantik terawat. Tidaklah pengunjung keberatan membayar retribusi bila kondisi tujuan wisata terjaga dengan baik dan rapih.

salah satu tumpukan sampah dalam kawasan Pemandian Way Bekhak
 
KAWAT PADA SUMBER AIR DAN TAMAN SELADA AIR

Usai melihat  kondisi air dalam kolam pemandian yang begitu jernih dan dingin, saya melangkah melihat bagian air yang mengalir cukup deras yang menyerupai sebuah air terjun mini di bagian utara dari letak kolam pemandian. Sayang bagian muka aliran air di beri kawat sehingga tidak dapat menikmati aliran air lebih dekat.
 
Kemudian saya melangkahkan kaki ke bagian sawah dengan warna hijau membentang. Ternyata wujud hijau nan asri di area sawah bukan berasal dari tumbuhan padi melainkan dari wujud tumbuhan selada air.  Untuk mengetahui selada air secara langsung,  saya menjumpai seorang ibu bernama Eli yang sedang mencuci selada air usai perolehnya dari areal persawahan.

salah satu sumber air yang menyerupai air terjun berukuran kecil

Ibu Eli  mencuci Selada Air.

hamparan tumbuhan Selada Air
 
“kalau tanaman padi nggak ada, selada air banyak di sini…” terang bu Eli kala saya tanyai soal Selada Air. Sebagai salah satu jenis sayuran air, selada air tergolong cepat tumbuh dan bersifat akuatik.  Selain itu, selada air memiliki khasiat sebagai pencuci darah karena merupakan tonic bagi penyembuhan gangguan liver dan ginjal. Mengkonsumsi selada air  sebagai lalap atau di olah menjadi sayur matang, dapat  menjaga kesehata tubuh, mencegah kanker hingga berfungsi sebagai obat diabetes. Dari ibu Eli yang sedang mencuci selada air saya jadi tahu bahwa selada air termasuk jenis sayuran yang di gandrungi masyarakat Talang Padang, Tanggamus. Selain harganya yang terjangkau, khasiat yang terkandung dalam selada air menjadi incaran masyarakat.  “dua iket seribu, mas” ungkap ibu Eli pada saya yang membuat saya tergerak membeli beberapa ikat.

0 comments :

Posting Komentar

Scroll To Top