Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Selasa, 23 Februari 2016

BUJANG PANDAI TALANG BEKASAM




Dua jam lamanya Mang Lakar menunggu di warung nasi depan stasiun Kereta Api Tanjung Karang. Sepanjang malam Mang Lakar berjuang menahan kantuk diantara sesak barang dan padatnya penumpang kelas ekonomi yang tak pantas disebut layak huni.
Rangkaian  kereta api bergerak dari Talang Bekasam – kampung halaman tercinta Mang Lakar kala dini hari. Sebuah waktu yang mestinya digunakan untuk tidur nyenyak.  Dalam gerbong kereta yang sumpek, Mang Lakar ingat pesan Mamak , “halah sekali-kali lupe gok sembahyang.” (jangan sekali-kali lupa mengerjakan shalat) – begitu nasehat Mamak yang selalu diulang dalam tiap rentetan pesan kehidupan yang terucap di lorong tunggu selama Mang Lakar menunggu sepur.

Juni 1995.
Setamat SMA Negeri  1 Sungkai Utara, Mang Lakar bertekat mengadu peruntungan di pusat kota. Ketika Jakarta yang semula menjadi tujuan merantau tak direstui oleh Mamak, maka Mang Lakar memilih Bandar Lampung sebagai tujuan mengadu nasid hidupnya.  Sekuat tenaga Mang Lakar meyakinkan Mamak. Meski berkali-kali didiamkan Mamak. Akhirnya direstui juga. Mamak melepas Mang Lakar dengan hati terganjal. Berkali kali Mamak menghapus air mata kala menemani Mang Lakar menunggu kereta datang di stasiun Talang Bekasam.


Di Talang Bekasam, Mang Lakar adalah pemuda pandai dengan banyak kawan. Mulai dari anak tukang babat rumput sampai anak Kepala Desa, semua dekat dengannya. Mang Lakar idola kaum muda. Bukan karena ketampanan wajah atau bentuk fisik yang aduhai bagai bintang film India. Bukan!. Tapi karena Mang Lakar selalu siap sedia membantu kawan kawannya dikala apapun. Lebih banyak dikala susah. Pernah Mang Lakar bersedia menemani Paman Dulham mencari anak gadis kecilnya yang hilang tersesat di ladang jati. Meski akhirnya berakhir tragis. Paman Dulham marah besar ketika tahu Mang Lakar menaruh hati pada si gadis kecil yang masih duduk di bangku 4 SD.
Mang Lakar juga sosok yang selalu hadir membantu di setiap pembukaan ladang baru. Mulai dari aktivitas membakar lahan sampai pada membuat patok ladang hingga kemudian bertanam sayur mayur. Pokoknya, tak ada aktivitas warga desa Talang Bekasam yang tak dihadiri oleh Mang Lakar. Bahkan, pernah ketika dalam keadaan demam tinggi Mang Lakar masih menyempatkan hadir nonton orkes dangdut dalam rangka perayaan kemenangan Lurah kampung sebelah.
Sebenarnya, Mang Lakar tidaklah sematang sebutannya. Kata ‘Mang’ yang terselip di depan namanya merupakan julukan seluruh desa karena kedewasaan tampilannya. Meski sebenarnya usianya masih remaja SMA.  Bernama asli Irham Lakar dari seorang Ayah bernama Lakar Ahmad Pangeran Dilom Putra – sosok Lampung asli yang besar diperantauan berjiwa  tegas dengan masih memegang teguh tata laksana kehidupan adat istiadat masyarakat Lampung. Ibu Mang Lakar adalah seorang Ogan yang juga keras jiwa dan berprinsip. Sama kerasnya dengan sang Ayah. Volume suara mereka ketika bicara dalam rumah pun dapat terdengar hingga pekarangan rumah. Belum lagi jika sedang bersitegang. Volume suara akan lebih besar berkumandang. Bisa jadi, karena sikap tegas dan disiplin kedua orang tua Mang Lakar lah yang kemudian membentuk pribadi Mang Lakar benar benar jadi sosok yang lebih tua ketimbang umur  sebenarnya. Sebutan ‘Mang’ didepan nama Lakar sungguh pantas tersemat.
Meski begitu, keteguhan hati Mang Lakar membawa kebulatan tekadnya untuk mengadu nasib di perkotaan – sesuatu yang menurut Mang Lakar pantas ia perjuangkan.
“woy, ngelamon kian ngan ni..” (woy, melamun saja kau ini),  sentak seorang pemuda kepada Mang Lakar. Buyarlah seuntai lamunan Mang Lakar.
“lame nian ngan ni ngejemput, Cek.”  (lama banged kau menjemput, Cek), ucap Mang Lakar seraya mengangkat dua kardus ukuran sedang, dan tas jinjing besar bercorak dedaunan yang ia jaga sebagai kebutuhan merantau dari Talang Bekasam.
“maklum saje Mang, agak jaoh dai humahku. Payulah…” (harap maklum Mang, cukup jauh dari rumahku, Ayoklah), sahut Cek Dika membantu membawa barang barang Mang Lakar.
Mang Lakar kemudian mengikuti langkah Cek Dika. Mereka harus berjalan sesaat menuju kumpulan angkot yang berjajar tak jauh dari warung nasi di depan stasiun kereta api. Cukup sulit bagi Mang Lakar menyesuikan langkah lebar Cek Dika. Ia masih menyesuaikan dengan kondisi sempitnya jalan yang tergerus pedagang kaki lima dan kawasan lalu lalang angkot beragam warna. Sesekali Mang Lakar melepaskan pandangan kebeberapa arah. Ada beberapa tulisan yang akan ia ingat agar kelak ia tak tersesat.  “halah lupe gok name jalan. Ingatkan. Engke ngan idak kesasar di Karang.” (jangan lupakan nama jalan. Ingatkan. Biar kamu tidak Nyasar di Karang – Tanjung Karang). Begitu pesan Mamak padanya.  Mang Lakar nampak menikmati keramaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, itulah sebabnya ia tertinggal jauh di belakang Cek Dika.  Sebuah keramaian yang menjadi satu antara lalu lalang beragam angkutan kota, ratusan manusia dan ragam kesibukan mereka masing masing yang jarang terlihat bertegur sapa diantara penjual penjual yang sibuk berteriak teriak menjajakan aneka barang, mulai dari buah-buahan hingga spare part kendaraan bermotor second. Suasana Terminal Pasar Bawah Tanjung Karang. Perjuangan mengadu nasib dimulai.

0 comments :

Posting Komentar

Scroll To Top