Dunia Inspirasi Penuh Warna by Indra Pradya

Sabtu, 04 Agustus 2018

KALIBIRU RAJA AMPAT, PEMANDIAN SORGAWI YANG JATUH KE BUMI.


 Pernah berada di pemandian sorgawi?. Bila masih berada di bumi tentu saja belum. Tapi semoga saya tak berlebihan bila menyebut Kalibiru Raja Ampat sebagai pemandian sorgawi yang jatuh ke bumi.  Emang udah liat wujud pemandian sorgawi?, hhmm, belum sih, tapi baiknya, simak dulu kisah saya dan teman-teman yang tandang ke Kalibiru Raja Ampat.
***


 
tepi danau Mayalibit di Kampung Warsambih

…”pukul 3 belum datang, lanjut sudah ke Kali Biru”… bisik kak Stephy pada saya siang itu.  Yang kak Stephy maksud ‘belum datang’, adalah pejabat yang nantinya akan membuka acara ceremonial yang masih berkaitan dengan gelaran Festival Geopark Raja Ampat yang sebelumnya terjadi di kawasan WTC (Waisai Torang Cinta).  Saya dan teman-teman tiba 2 jam lebih awal di tempat acara. Saking awalnya, kami sempat ngaso di masjid, melaksanakan dzuhur sampai saya sempat merebahkan badan dan terlelap sesaat.  Kami memutuskan melihat lebih dekat lapangan tempat berlangsungnya acara. Sekumpulan anak yang sedang bersiap menjadi penampil mencuri perhatian kami. Tampilan busana dan hiasan wajah mereka begitu kontras dengan senyum manis nan polos yang mereka pertunjukkan pada kami. Jadilah saya dan rekan-rekan mengabadikan adik-adik penari dari beragam sisi sampai ikut photo bersama mereka.

Masih dalam rangka mengisi waktu sebelum pejabat datang, kak Dinasty mengajak kami mendatangi air terjun Warengkris. Selayaknya wujud air terjun, saya fikir letaknya cukup jauh dan mesti tracking. Ternyata letaknya tak jauh dari jarak kami bercengkrama dengan para penari cilik tadi. Bahkan wujud air terjunnya telah terlihat jelas. Kami pun mendekat dan mengabadikan air terjun lebih dekat meski wujudnya kurang maksimal karena volume air yang tak terlampau deras.

  
Pak Samuel (berkaus Hijau) dengan Kapal Kayu yang akan membawa kami dari dermaga kampung Warsambih ke Kalibiru
USAHA MENDATANGI PEMANDIAN SORGAWI

Kak Stephy mengarahkan Kak Dinasty untuk membawa kami berkendara dari kawasan Warengkris menuju kampung Warsambi. Pejabat yang dijadwalkan membuka acara tak kunjung tiba. Cukuplah kami puas dengan mengabadikan diri bersama para penari cilik. -Kasihan penari cilik itu menunggu pejabat yang super telat. #catet!.

Usai berkendara sekitar 40 menit, Kak Dinasty menghentikan kendaraan di jalan raya yang dekat dengan hunian warga dan bentangan danau Mayalibit sebagai pesonanya. Kontan saya berdecak kagum ketika melihat hamparan danau yang sungguh memukau. “ini yang dimaksud Kalibiru?” tanya saya.  “Bukan. Kita akan menyeberangi danau ini dahulu, baru tiba di Kalibiru.” jawab kak Dinasty.
Rupanya, menuju lokasi Kalibiru, wajib menyeberangi danau Mayalibit, lalu bertemu aliran sungai Worabiyai, lanjut tracking di bibir sungai Worabiyai, barulah tiba di kawasan danau Kalibiru. Begitu penjelasan pak Samuel – juru kemudi kapal kayu yang kami naiki.  Dan untuk ke Kalibiru, pengunjung wajib menyewa kapal nelayan di kampung Warsambih. Rp. 500.000 per kapal (PP) untuk isi maksimum 6 sampai 8 orang.  Jujur saja, ada rasa takut pada diri saya ketika tahu bahwa untuk menyeberangi danau Mayalibit kami harus menaiki perahu kayu nelayan bermesin kecil. Tak ada life jacket dalam perahu. Mata saya sempat beradu lirik dengan mba Donna. “cerita perjalanan kita sungguh kenyang dengan segala jenis air ya, Ndra?!” seloroh mba Donna yang saya sahut dengan anggukan dan terbahak. Meski begitu, saya merasa nyaman saat duduk di sebuah perahu kayu yang hanya cukup untuk seukuran badan, tanpa ada rongga untuk bergerak itu. Sudahlah. Yakin saja sang Pencipta berpihak pada saya dan rekan-rekan sore itu.

wajah happy bercampur was was mengarungi danau Mayalibit

saya yang sok tegar duduk di ujung kapal kayu  - photo by Shinta

Seperti biasa, untuk menghilangkan rasa was-was dalam pelayaran saya bergumam menyenandungkan lagu-lagu yang mengandung semangat.  Sebagai orang yang tak bisa berenang dan cenderung parno dengan kedalaman air, saya selalu punya cara untuk menenangkan diri sendiri, yakni dengan bernyanyi lagu-lagu yang liriknya menyemangati sembari melayangkan pandangan ke pepohonan dan langit biru. 
Kapal kayu yang kami tumpangi berhenti di tepi sungai setelah lebih kurang 20 menit mengarungi danau yang menyajikan bentangan keindahan.  Kami pun bergegas mengikuti langkah kaki pak Samuel. Melalui bebatuan kecil di tepi sungai hingga jalan setapak. Kicauan burung gagak menghias suasana langkah beriringan kami sore itu.  


pak Samuel membawa kami  menyusuri sungai untuk menuju titik Kalibiru

lalu melintasi sungai dangkal

lalu jalan setapak
tiba di bagian depan Kalibiru dengan Fasilitas bersantai untuk pengunjung
Hamparan Kalibiru sungguh memesona mata kala pertama melihatnya. Hasrat untuk merasakan air Kalibiru pun tak terbendung. Aliran air sungai jernih berwarna toska yang berasal dari mata air desa Warsambin, pulau Waigeo itu mengundang keinginan saya untuk menjajalnya. Meski tak pandai berenang, tapi cukuplah saya mengukur diri untuk setidaknya mampu menyeberangi bagian sungai yang dalam menuju bagian yang lebih dangkal. Sebelumnya, saya mengingatkan kak Dinasty untuk bersiap menolong saya bila saya tak mampu sampai ke tepian sisi sungai, hahaha. #demipostingansosmed

tibalah di wujud Kalibiru yang memesona


A post shared by Indra Pradya (@duniaindra) on

Menurut pak Samuel, biru toska Kalibiru yang terlihat dipermukaan itu merupakan daya tarik utama kawasan Kalibiru sekaligus sesuatu yang wajib dijaga. Itulah mengapa ada larangan tertulis bagi pengunjung untuk tidak tandang pada sumber mata air Kalibiru yang terletak di bagian atas dari kawasan kami berada. “Kalibiru sudah banyak dikunjungi, meski menuju kesini cukup sulit” terang pak Samuel. Bahkan saat ini, biaya kapal untuk menyeberangi danau Mayalibit terbilang murah dibanding saat pertama Kalibiru jadi spot kunjungan. “dulu, biaya kapal bisa sampai 1 hingga 1,5 juta rupiah” terang pak Samuel. Itulah sebabnya, pak Samuel berharap siapapun yang datang tetap menjaga aturan-aturan lokal yang berlaku. Salah satunya tidak mendatangi atau merusak sumber mata air dari Kalibiru. “untuk menjaga warna air tetap biru, maka dilarang berenang di bagian sumber air” terang pak Samuel.

pesona Kalibiru

DRAMA KEPULANGAN YANG MENDEBARKAN

Pesona Kalibiru membius kami lupa waktu sore itu. Pepohonan rimbun disekitaran Kalibiru semakin pekat. Cuaca beranjak gelap. Kami pun memutuskan untuk kembali ke sisi sungai dimana perahu kayu tertambat usai puas mengabadikan diri di Kalibiru dari beragam sisi.  “nanti di tengah danau kita ambil gambar sebentar ya?, ajak Panji yang telah mengatur drone miliknya. Beberapa kali saat kami sedang berjalan menyisir sungai, Panji telah dengan sigap mengoperasikan drone.  Rute kembali memang terasa lebih cepat karena kami lebih bergegas. Takut segera turun hujan dan hari semakin gelap.  Saya dan rekan-rekan sempat cemas ketika mesin kapal kayu yang kami tumpangi mendadak mogok. Untungnya mesin kembali hidup setelah beberapa kali pak Samuel berusaha memacu ulang si mesin kapal. Tapi ternyata drama perjalanan pulang dari Kalibiru tak berhenti sampai disitu. Drone yang telah di tata sedemikian rua mengambil gambar kami menyeberangi danau ternyata mengalami kesulitan mendarat. Alhasil, kapal yang kami tumpangi harus memelankan mesin sedangkan butuh sekitar 20 menit untuk menyesuaikan mesin drone agar berhenti tepat di titik kapal kayu dimana posisi kami berada. Panji dan Rizal tampak bergantian mengulurkan tangan agar si Drone berhenti di bagian dalam kapal. Sementara Shinta, Imelda dan mba Donna juga sesekali membantu, meski tak membuahkan hasil apapun. Saya?. Diam saja! apa yang bisa saya lakukan?!. Kalaupun tak berhasil menangkap Drone, kan bisa-bisa saya yang jatuh ke danau!. Saya kan gak bisa berenang?! Wkwkwkw.

all team - Tim Petualang huru hara

Sungguh kisah perjalanan bersama rekan petualang dan Kamar Raja Homestay yang seru. Banyak kisah tercipta. Terlebih mendatangi Kalibiru yang merupakan spot menarik di Raja Ampat selain pesona kawasan baharinya. Oh, ia, sebenarnya, tak hanya Kalibiru yang dapat dikunjungi. Bila ada waktu,pengunjung dapat singgah di Goa Guy yang juga terletak di bagian barat Teluk Mayalibit. Konon menurut pak Samuel, tampilan Stalaktit, Stalakmit dan Flowstone nya memukau. Sayang waktu kami tak banyak. Senja semakin bergerak. Semoga ada kesempatan bagi saya untuk kembali tandang ke Mayalibit. Amin.

9 komentar :

  1. Keren warna biru tosqa airnya 👍
    Cakep betul buat renang-renang ya ...

    Namanya sama persis dengan salah satu lokasi wisata di Kulon Progo.
    Warna air biru tosqanya mirip dengan palung air terjun sungai mudal, air trjun kedung pedut ..., juga di Kulon Progo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yes mas, namanya sama dengan beberapa kawasan di pulau jawa gitu...tapi tetap saja pesonanya mengagumkan.

      Hapus
  2. Oalaaah. Kalibirunya bikin ngiler pengen nyebuuuur . Cerita drama di akhir gak apa2. Biar Ada tambahan cerita di blog ya kaan

    BalasHapus
  3. cantik banget warna airnya, jadi pengen kesana banget ini huhu.

    BalasHapus
  4. Air biru kristal itu sangat menawan. Beruntung ya ini ada di Indonesia Walau lokasinya jauh di Papua sana Minimal kita tidak perlu paspor untuk sampai ke sini

    BalasHapus
  5. cakep bener kak, warnanya benar-benar biru gitu ya

    BalasHapus
  6. Kupikir birunya karna efek filter IG. Ternyata emang asli biru yaa. Apalagi terpapar cahaya matahari gitu

    BalasHapus

Scroll To Top